PENGARUH BUDAYA DAN AGAMA DALAM
MENINGKATKAN
PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
Oleh:
Imam Arifa’illah Syaiful Huda
1.Pendahuluan
Krisis lingkungan hutan atau
degradasi hutan merupakan salah satu persoalan lingkungan yang saat ini semakin
banyak mendapatkan perhatian. Degradasi hutan ini terjadi sebagai akibat dari
aktivitas-aktivitas manusia yang sering kali mengeksploitasi hutan dan sumber
daya yang terkandung di dalamnya tanpa memperhatikan daya dukung dan
keberlanjutannya, seperti aktivitas pembakaran hutan dan illegal loging. Di samping itu, berbagai bentuk kebijakan
pembangunan ekonomi yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
di berbagai belahan dunia juga tidak jarang harus mengorbankan kelestarian
hutan. Dalam konteks Indonesia, kebijakan pembukaan 14.000 hektar kawasan hutan
untuk pertambangan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Provinsi Gorontalo
oleh pemerintah merupakan salah satu bukti nyata. Di sisi lain, degradari hutan juga diakibatkan oleh
pembukaan kawasan hutan untuk lahan pertanian dan pemukiman penduduk sebagai
akibat populasi manusia yang terus meningkat juga masih terjadi. Susilo (2009: 72) menyatakan bahwa sebesar
42% dari luas dunia telah rusak dengan tanpa bisa diperbaiki kembali. Sementara
itu, Iskandar (dalam Susilo, 2009: 72) manyatakan bahwa menurut Laporan World
Bank disebabkan 35 tahun terjadi deforestasi, hutan Indonesia tinggal 57 hektar
dan hanya 15% di antaranya terletak di dataran rendah, sisanya di lapangan yang
sulit dijangkau dan kawasan payau alluvial.
Keberadaan hutan sesungguhnya sangat
menguntungkan bagi kelangsungan hidup manusia. Hutan yang sering disebut
sebagai paru-paru dunia memiliki fungsi-fungsi antara lain sebagai penyimpan
cadangan air bersih, mencegah dan membatasi banjir, mencegah erosi, memelihara
kesuburan tanah, menghasilkan oksigen dan mengurangi polusi udara, menjaga
kestabilan iklim, serta fungsi-fungsi lainnya yang berguna bagi kelangsungan
hidup manusia. Namun dewasa ini, aktivitas-aktivitas eksploitasi hutan dan sumber
daya hutan yang dilakukan manusia dengan tanpa mempetimbangkan daya dukung dan
keberlanjutan lingkungan hutan telah menyebabkan terganggunya fungsi-fungsi
tersebut. Peristiwa bencana banjir bandang yang terjadi di Kecamatan Panti,
Kabupaten Jember pada tahun 2006 dan 2011 dan peristiwa bencana banjir bandang
yang terjadi di Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat pada 4 Oktober
2010 merupakan beberapa contoh bencana yang timbul terkait adanya degradasi
hutan.
Di samping itu, isu global mengenai
adanya perubahan iklim global juga dinilai memiliki kaitan erat dengan aspek
kelestarian hutan. Perubahan iklim global tersebut menimbulkan suatu tantangan
yang sangat rumit bagi kemanusiaan dan berdampak pada pola-pola kerentanan dan
bahaya. Terkait dengan perubahan iklim global ini, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) (dalam Pambudy, 2011) menyatakan bahwa 65 persen
kejadian bencana di Indonesia merupakan bencana hidrometeorologi, yaitu
berhubungan dengan curah hujan dan iklim, berupa banjir, longsor, angin topan,
serta pasang dan gelombang laut.
Berbeda dengan perilaku manusia yang
sering kali mengeksploitasi hutan dan sumber daya yang terkandung di dalamnya
dengan tanpa memperhatikan daya dukung dan keberlanjutannya, di sisi lain masih
terdapat masyarakat-masyarakat tradisional dengan kearifan lokalnya yang
dinilai mampu memanfaatkan dan mengelola lingkungan hutan secara arif dan
berkelanjutan. Nurjaya (2009) menyatakan bahwa temuan dari
penelitian-penelitian antropologis mengenai pengelolaan sumber daya hutan oleh
masyarakat lokal di negara-negara Asia dan Amerika Latin membuktikan bahwa
masyarakat asli (indigenous people)
memiliki kapasitas budaya, sistem pengetahuan dan teknologi, religi, tradisi,
serta modal sosial seperti etika dan kearifan lingkungan, norma-norma dan
institusi hukum untuk mengelola sumber daya alam secara bijaksana dan
berkelanjutan. Salah satu contoh dari masyarakat tersebut adalah masyarakat di
desa adat Tenganan Pegringsingan yang berada di Kecamatan Maggis, Kabupaten
Karangasem, Provinsi Bali.
Berkat kearifan lokal dalam
pengelolaan kawasan hutan serta komitmen kuat untuk memelihara dan menjaga
lingkungan hutan sebagai sistem penyangga kehidupan, masyarakat desa adat
Tenganan Pegringsingan memperoleh penghargaan Kalpataru untuk kategori
penyelamat lingkungan tahun 1989. Lebih dari itu, lestarinya hutan juga telah
menjauhkan mereka dari bencana. Hal ini mengingat letak desa adat Tenganan
Pegringsingan yang berada di lembah, yang dikepung oleh tiga bukit sudah tentu
sangat rentan terhadap bencana, seperti banjir dan tanah longsor. Berdasarkan
latar belakang di atas, maka judul “Kearifan lokal masyarakat desa adat
Tenganan Pegringsingan dalam pelesarian lingkungan hutan” patut diangkat dalam
kajian kali ini.
2.
Tinjauan Lingkungan
Hidup
Ø
Bentuk-Bentuk
Kerusakan Lingkungan Hidup dan Faktor Penyebabnya
Lingkungan hidup
mempunyai keterbatasan, baik dalam hal kualitas maupun kuantitasnya. Dengan
kata lain, lingkungan hidup dapat mengalami penurunan kualitas dan penurunan
kuantitas. Penurunan kualitas dan kuantitas lingkungan ini menyebabkan kondisi
lingkungan kurang atau tidak dapat berfungsi lagi untuk mendukung kehidupan
makhluk hidup yang ada di dalamnya. Kerusakan lingkungan hidup dapat disebabkan
oleh beberapa faktor. Berdasarkan penyebabnya, kerusakan lingkungan dapat
dikarenakan proses alam dan karena aktivitas manusia.
1.Lingkungan Akibat
Proses Alam
Kerusakan lingkungan hidup oleh alam terjadi karena adanya gejala atau
peristiwa alam yang terjadi secara hebat sehingga memengaruhi keseimbangan
lingkungan hidup. Peristiwa-peristiwa alam yang dapat memengaruhi kerusakan
lingkungan, antara lain meliputi hal-hal berikut ini.
a.
Letusan
Gunung Api
Letusan gunung api dapat menyemburkan lava, lahar,
material-material padat berbagai bentuk dan ukuran, uap panas, serta debu-debu
vulkanis. Selain itu, letusan gunung api selalu disertai dengan adanya gempa
bumi lokal yang disebut dengan gempa vulkanik. Aliran lava dan uap panas dapat
mematikan semua bentuk kehidupan yang dilaluinya, sedangkan aliran lahar dingin
dapat menghanyutkan lapisan permukaan tanah dan menimbulkan longsor lahan. Uap
belerang yang keluar dari pori-pori tanah dapat mencemari tanah dan air karena
dapat meningkatkan kadar asam air dan tanah. Debu-debu vulkanis sangat
berbahaya bila terhirup oleh makhluk hidup (khususnya manusia dan hewan), hal
ini dikarenakan debu-debu vulkanis mengandung kadar silika (Si) yang sangat
tinggi, sedangkan debu-debu vulkanis yang menempel di dedaunan tidak dapat
hilang dengan sendirinya. Hal ini menyebabkan tumbuhan tidak bisa melakukan
fotosintesis sehingga lambat laun akan mati. Dampak letusan gunung memerlukan
waktu bertahun-tahun untuk dapat kembali normal. Lama tidaknya waktu untuk
kembali ke kondisi normal tergantung pada kekuatan ledakan dan tingkat
kerusakan yang ditimbulkan. Akan tetapi, setelah kembali ke kondisi normal,
maka daerah tersebut akan menjadi daerah yang subur karena mengalami proses
peremajaan tanah.
b.
Gempa
Bumi
Gempa bumi adalah getaran yang ditimbulkan karena adanya gerakan
endogen. Semakin besar kekuatan gempa, maka akan menimbulkan kerusakan yang semakin parah di
muka bumi. Gempa bumi menyebabkan bangunan-bangunan retak atau hancur, struktur
batuan rusak, aliran-aliran sungai bawah tanah terputus, jaringan pipa dan
saluran bawah tanah rusak, dan sebagainya. Jika kekuatan gempa bumi melanda
lautan, maka akan menimbulkan tsunami, yaitu arus gelombang pasang air laut
yang menghempas daratan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Masih ingatkah
kalian dengan peristiwa tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam di penghujung tahun
2004 yang lalu? Contoh peristiwa gempa bumi yang pernah terjadi di Indonesia
antara lain gempa bumi yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 di Nanggroe
Aceh Darussalam dengan kekuatan 9,0 skala richter. Peristiwa tersebut merupakan
gempa paling dasyat yang menelan korban diperkirakan lebih dari 100.000 jiwa.
Gempa bumi juga pernah melanda Yogyakarta dan Jawa Tengah pada bulan Mei 2006
dengan kekuatan 5,9 skala richter.
c.
Banjir
Banjir merupakan salah satu bentuk fenomena alam yang
unik. Dikatakan unik karena banjir dapat terjadi karena murni gejala alam dan
dapat juga karena dampak dari ulah manusia sendiri. Banjir dikatakan sebagai
gejala alam murni jika kondisi alam memang memengaruhi terjadinya banjir,
misalnya hujan yang turun terus menerus, terjadi di daerah basin, dataran
rendah, atau di lembah-lembah sungai. Selain itu, banjir dapat juga disebabkan
karena ulah manusia, misalnya karena penggundulan hutan di kawasan resapan,
timbunan sampah yang menyumbat aliran air, ataupun karena rusaknya dam atau
pintu pengendali aliran air. Kerugian yang ditimbulkan akibat banjir, antara
lain, hilangnya lapisan permukaan tanah yang subur karena tererosi aliran air,
rusaknya tanaman, dan rusaknya berbagai bangunan hasil budidaya manusia.
Bencana banjir merupakan salah satu bencana alam yang hampir setiap musim
penghujan melanda di beberapa wilayah di Indonesia. Contoh daerah di Indonesia
yang sering dilanda banjir adalah Jakarta. Selain itu beberapa daerah di Jawa Tengah
dan Jawa Timur pada awal tahun 2008 juga dilanda banjir akibat meluapnya DAS
Bengawan Solo.
d.
Tanah
anah Longsor
Karakteristik tanah longsor hampir sama dengan
karakteristik banjir. Bencana alam ini dapat terjadi karena proses alam ataupun
karena dampak kecerobohan manusia. Bencana alam ini dapat merusak struktur
tanah, merusak lahan pertanian, pemukiman, sarana dan prasarana penduduk serta
berbagai bangunan lainnya. Peristiwa tanah longsor pada umumnya melanda
beberapa wilayah Indonesia yang memiliki topografi agak miring atau berlereng
curam. Sebagai contoh, peristiwa tanah longsor pernah melanda daerah
Karanganyar (Jawa Tengah) pada bulan Desember 2007
e.
Badai/Angin Topan
Angin topan terjadi karena perbedaan tekanan udara yang
sangat mencolok di suatu daerah sehingga menyebabkan angin bertiup lebih
kencang. Di beberapa belahan dunia, bahkan sering terjadi pusaran angin.
Bencana alam ini pada umumnya merusakkan berbagai tumbuhan, memorakporandakan
berbagai bangunan, sarana infrastruktur dan dapat membahayakan penerbangan.
Badai atau angin topan sering melanda beberapa daerah tropis di dunia termasuk
Indonesia. Beberapa daerah di Indonesia pernah dilanda gejala alam ini. Salah
satu contoh adalah angin topan yang melanda beberapa daerah di Yogyakarta dan Jawa
Tengah.
f.
Kemarau
Panjang
Bencana alam ini merupakan kebalikan dari bencana banjir. Bencana ini
terjadi karena adanya penyimpangan iklim yang terjadi di suatu daerah sehingga
musim kemarau terjadi lebih lama dari biasanya. Bencana ini menimbulkan berbagai
kerugian, seperti mengeringnya sungai dan sumber-sumber air, munculnya
titik-titik api penyebab kebakaran hutan, dan menggagalkan berbagai upaya
pertanian yang diusahakan penduduk.
2.Kerusakan
Lingkungan Hidup karena Aktivitas Manusia
Dalam memanfaatkan
alam, manusia terkadang tidak memerhatikan dampak yang akan ditimbulkan.
Beberapa bentuk kerusakan lingkungan yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia,
antara lain, meliputi hal-hal berikut ini.
a.
Pencemaran
Lingkungan
Pencemaran disebut juga dengan polusi, terjadi karena
masuknya bahan-bahan pencemar (polutan) yang dapat mengganggu keseimbangan
lingkungan. Bahan-bahan pencemar tersebut pada umumnya merupakan efek samping
dari aktivitas manusia dalam pembangunan. Berdasarkan jenisnya, pencemaran
dapat dibagi menjadi empat, yaitu pencemaran udara, pencemaran tanah,
pencemaran air, dan pencemaran suara. Pencemaran udara yang ditimbulkan oleh
ulah manusia antara lain, disebabkan oleh asap sisa hasil pembakaran, khususnya
bahan bakar fosil (minyak dan batu bara) yang ditimbulkan oleh kendaraan
bermotor, mesin-mesin pabrik, dan mesin-mesin pesawat terbang atau roket.
Dampak yang ditimbulkan dari pencemaran udara, antara lain, berkurangnya kadar
oksigen (O2) di udara, menipisnya lapisan ozon (O3), dan bila bersenyawa dengan
air hujan akan menimbulkan hujan asam yang dapat merusak dan mencemari air,
tanah, atau tumbuhan. Pencemaran tanah disebabkan karena sampah plastik ataupun
sampah anorganik lain yang tidak dapat diuraikan di dalam tanah. Pencemaran
tanah juga dapat disebabkan oleh penggunaan pupuk atau obat-obatan kimia yang
digunakan secara berlebihan dalam pertanian, sehingga tanah kelebihan zat-zat
tertentu yang justru dapat menjadi racun bagi tanaman. Dampak rusaknya ekosistem
tanah adalah semakin berkurangnya tingkat kesuburan tanah sehingga lambat laun
tanah tersebut akan menjadi tanah kritis yang tidak dapat diolah atau
dimanfaatkan.
Pencemaran air terjadi karena masuknya zat-zat polutan
yang tidak dapat diuraikan dalam air, seperti deterjen, pestisida, minyak, dan
berbagai bahan kimia lainnya, selain itu, tersumbatnya aliran sungai oleh
tumpukan sampah juga dapat menimbulkan polusi atau pencemaran. Dampak yang
ditimbulkan dari pencemaran air adalah rusaknya ekosistem perairan, seperti
sungai, danau atau waduk, tercemarnya air tanah, air permukaan, dan air laut.
Pencemaran suara adalah tingkat kebisingan yang sangat mengganggu kehidupan
manusia, yaitu suara yang memiliki kekuatan > 80 desibel. Pencemaran suara
dapat ditimbulkan dari suara kendaraan bermotor, mesin kereta api, mesin jet
pesawat, mesin-mesin pabrik, dan instrumen musik. Dampak pencemaran suara
menimbulkan efek psikologis dan kesehatan bagi manusia, antara lain,
meningkatkan detak jantung, penurunan pendengaran karena kebisingan (noise
induced hearing damaged), susah tidur, meningkatkan tekanan darah, dan dapat
menimbulkan stres.
b.
Degradasi Lahan
Degradasi lahan adalah proses berkurangnya daya dukung
lahan terhadap kehidupan. Degradasi lahan merupakan bentuk kerusakan lingkungan
akibat pemanfaatan lingkungan oleh manusia yang tidak memerhatikan keseimbangan
lingkungan. Bentuk degradasi lahan, misalnya lahan kritis, kerusakan ekosistem
laut, dan kerusakan hutan.
1)
Lahan
kritis dapat terjadi karena praktik ladang berpindah ataupun karena eksploitasi
penambangan yang besar-besaran.
2)
Rusaknya
ekosistem laut terjadi karena bentuk eksploitasi hasil-hasil laut secara
besar-besaran, misalnya menangkap ikan dengan menggunakan jala pukat,
penggunaan bom, atau menggunakan racun untuk menangkap ikan atau terumbu
karang. Rusaknya terumbu karang berarti rusaknya habitat ikan, sehingga
kekayaan ikan dan hewan laut lain di suatu daerah dapat berkurang.
3)
Kerusakan
hutan pada umumnya terjadi karena ulah manusia, antara lain, karena penebangan
pohon secara besar-besaran, kebakaran hutan, dan praktik peladangan berpindah.
Kerugian yang ditimbulkan dari kerusakan hutan, misalnya punahnya habitat hewan
dan tumbuhan, keringnya mata air, serta dapat menimbulkan bahaya banjir dan
tanah longsor.
Dapat di simpulkan
bahwa penyebab kerusakan lingkungan yang Pertama,
karena kejadian alam sebagai peristiwa yang
harus terjadi sebagai sebuah proses dinamika alam itu sendiri. Kedua,
sebagai akibat dari perbuatan manusia yang tidak
peduli terhadap kelestarian lingkungan. Kedua bentuk
kejadian alam di atas mengakibatkan ketidakseimbangan kehidupan makhluk hidup baik manusia, flora maupun fauna.
Ketidakseimbangan tersebut dapat dikatakan sebagai
bencana. Dampak-dampak kerusakan lingkungan hidup itu dapat berupa pencemaran air, pencemaran tanah, krisis
keanekaragaman hayati (biological diversity), kerusakan hutan, krisis air bersih,
pertambangan dan kerusakan lingkungan, pencemaran
udara, banjir, longsor dan sebagainya. Salah
satu isu sentral dunia belakangan ini terkait dengan ekologi adalah pemanasan global. Pemanasan global ini
dikaitkan dengan globalisasi ekonomi dan krisis
keuangan global. Semua terkait dengan perkara hidup manusia sehari-hari,
terkait dengan ritual hidup manusia. Sekarang
seolah-olah manusia menghadapi ketidakberdayaan.5
Pemanasan global terjadi ketika ada konsentrasi
gas-gas tertentu yang disebut rumah
kaca. Pemanasan global terjadi karena ulah manusia. Akibat yang manusia rasakan adalah gejolak perubahan iklim.
Terjadi pancaroba. Bumi makin panas merupakan
kenyataan semakin tidak nyamannya Bumi sebagai tempat tinggal makhluk hidup. Terjadilah peningkatan
temperatur. Es kutub mulai mencair, mengakibatkan meningkatnya
volume air laut dan anomali cuaca. Muncul kekhawatiran kepunahan spesies, bahkan ketakutan kiamat keburu
datang. Diperkirakan saat ini 50-150 spesies Bumi
punah setiap hari. Sekitar 50 persen dari sekitar 10 juta spesies yang ada saat
ini akan punah dalam 100 tahun ke depan.
Laju kepunahan itu perlu diredam karena bias berdampak
pada kelangsungan hidup di Bumi. Salah satu caranya, menumbuhkan solidaritas lintas spesies yang saat ini
masih sangat minim, sementara pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi lebih berorientasi pada kesejahteraan manusia.6
Kerusakan alam berkait erat dengan kemiskinan.
Ketika fokus perhatian dunia diberikan
untuk mengatasi kerusakan lingkungan, di saat yang sama masih saja terjadi perusakan. Perubahan
iklim sebagai salah satu konsekuensi kerusakan alam berdampak global. Dampaknya lebih terasa di
negara-negara berkembang sehingga tantangan menyikapinya
harus global, sekaligus mengingatkan tentang kepunahan-kepunahan yang terjadi, tidak hanya sebagai
gerakan hukum, politik, dan ekonomi, tetapi juga perlu lewat asas keagamaan.
Ø
Kemiskinan Dan Kerusakan Lingkungan
Kemiskinan dan kerusakan lingkungan berkorelasi
positif. Bahkan keduanya memiliki hubungan kausalitas derajat polinomial. Pada
derajat pertama, kemiskinan terjadi karena kerusakan
lingkungan atau sebaliknya lingkungan rusak karena kemiskinan. Pada tingkatan
polinomial berikutnya, kemiskinan terjadi akibat kerusakan lingkungan yang
disebabkan karena kemiskinan periode sebelumnya. Hal sebaliknya berpeluang
terjadi, lingkungan rusak karena kemiskinan yang dipicu oleh kerusakan lingkungan
pada periode sebelumnya.
Hubungan sebab akibat itu bisa terus berlanjut pada
derajat polinomial yang lebih tinggi, membentuk lingkaran setan atau siklus
yang tidak berujung. Dalam kondisi seperti itu, kemiskinan semakin parah dan
lingkungan semakin rusak. Semakin lama kondisi itu berlangsung, semakin kronis
keadaanya. Bila sudah demikian, status kemiskinan berubah secara tidak linier.
Dari miskin, ke lebih miskin, dan akhirnya miskin sekali. Tren yang sama juga
terjadi juga pada kerusakan lingkungan.
Jeffrey Sachs dalam kesimpulan bukunya The End of
Poverty menekankan pentingnya hubungan kemiskinan dan kerusakan lingkungan
sebagai peubah penentu kesejahteraan dan kemakmuran. Menurutnya, sementara
investasi pada kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur mungkin dapat mengatasi
perangkap kemiskinan yang sudah ekstrem kondisinya, degradasi lingkungan pada
skala lokal, regional, dan global dapat meniadakan manfaat investasi tersebut.
Dengan kata lain, ada banyak variabel penting yang ikut menentukan kesejahteraan
dan kemiskinan, namun lingkungan alam bisa dipandang sebagai yang terpenting.
Karena pentingnya hubungan kemiskinan dan kerusakan
lingkungan, dalam Millenium Development Goals (MDGs) kedua variabel tersebut
dijadikan target bersama negara-negara dunia untuk menyelesaikannya hingga
periode 2015. Sementara di Indonesia, makin hari makin terasa pentingnya kedua
variabel itu. Hampir di seluruh daerah, kemiskinan semakin terekspose.
Di saat dan tempat yang sama, kerusakan lingkungan
makin terjadi, ditandai dengan aktivitas dan kehidupan manusia yang sudah
melebihi kapasitas alam. Manusia yang miskin hidup di atas atau melampaui daya
dukung (carrying capacity) sumber daya alam. Maka terjadilah hubungan lingkaran
setan kemiskinan dan kerusakan alam yang sulit dicari ujung pangkalnya.
Sejak ditetapkan pada September 2000 dan diikuti
dengan penatapan Milleneium Project pada 2002 di Johannesburg, Afrika Selatan
oleh Kofi Annan, banyak negara dunia memberikan perhatikan serius pada
pencapaian target-target yang ditetapkan. Dalam kaitan dengan pengentasan
kemiskinan, tiga target yang disepakati untuk dicapai yaitu mengurangi separuh
jumlah penduduk yang pendapatannya di bawah $1 sehari, mengurangi separuh
jumlah penduduk yang kelaparan, serta meningkatkan jumlah ketersediaan pangan
bagi orang miskin.
Target yang berkaitan keberlanjutan lingkungan
adalah memadukan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam kebijakan dan program
pembangunan setiap negara, meningkatkan jumlah orang yang dapat akses air
bersih, serta meningkatkan secara siginifikan kehidupan 100 juta orang yang
hidup di daerah kumuh. Target-target itu membuka debat publik secara demokrasi
tentang kinerja pemerintah. Partai politik juga menggunakan target-target ini
untuk secara terbuka mengevaluasi kebijakan dan program pemerintah.
Presiden Brasilia, Luis Inacio da Silva, misalnya
secara ekplisit mengumumkan target-target pada MDGs sebagai platform politiknya
dalam pemilu. Tanpa disadari dan tak secara eksplisit diajukan, di Indonesia
pun banyak calon gubernur, bupati, dan wali kota menggunakan target-target MDGs
sebagai platform politik mereka dalam pilkada.
Langkah-langkah besar dan signifikan sudah dicapai
Tiongkok dan Vietnam dalam mengurangi kemiskinan. Dalam kurun 1990-2002,
penduduk miskin 32 persen menjadi 13 persen di Tiongkok, serta dari 51 persen
menjadi 14 persen di Vietnam. Namun khususnya di Tiongkok, lingkungan alam
sebagai habitat dan sumber daya ekonomi mengalami kerusakan cukup serius.
Dengan kata lain, pencapaian MDGs tidak dicapai secara holistik, malahan
sebaliknya tujuan atau tagetnya saling dipertentangkan.
Situasi yang sama dengan Tiongkok umumnya berlaku
juga di negara-negara kawasan Amerika Latin dan Karibia. Pengentasan kemiskinan
diprioritaskan sementara target lain kurang diperhatikan. Tetapi kawasan itu
juga memperhatikan tiga target penting lainnya, yaitu pengurangan angka
kematian bayi, penyediaan air bersih, serta peniadaan diskriminasi gender pada
pasar tenaga kerja. Logikanya, kemiskinan bisa dientaskan melalui perbaikan ketiga
target ini.
Di Asia Selatan, 40 persen penduduk hidup dengan
kurang dari $1 sehari. Namun kemiskinan sudah jauh berkurang di kawasan ini,
kecuali di Pakistan. Secara khusus, Bangladesh berhasil meningkatkan pendidikan
anak dan pemuda, mengurangi malnutrisi anak, serta mengurangi insidensi
HIV/AIDS.
Kawasan dunia yang termiskin, Sub-Sahara Afrika,
diprediksi tidak akan berhasil mencapai target MDGs, khususnya pengurangan
jumlah orang miskin. Sebaliknya, jumlah orang miskin bertambah dari 314 juta
pada 2001 menjadi 366 juta pada 2015. Hanya Uganda, Ghana, dan Kamerun yang
baik kinerjanya dalam hal pengentasan kemiskinan.
Tuberkolosis, malaria, dan HIV/ AIDS masih marak dan
menurunkan harapan hidup serta tingkat kematian bayi. Untuk kawasan itu,
keterisolasian, kerusakan sumber daya alam serta ketiadaan infrastruktur
teknologi adalah alasan utama kemiskinan dan keterbelakangan.
"Triple Tracks Plus"
Di Indonesia, strategi pembangunan berbasis Triple
Tracks (pro poor, pro job, dan pro growth) bisa dipandang sebagai implementasi
MDGs, sudah populer, dan diadopsi oleh instansi pemerintah secara nasional.
Namun statistik kemiskinan bisa menjadi dasar evaluasi sejauh mana kinerja
strategi triple tracks.
Tidak untuk diperdebatkan, hanya sebagai indikator,
pada 2002 jumlah penduduk miskin 36,4 juta (18,1 persen). Pada September 2006,
dengan standar $1,55 sehari, jumlahnya menjadi 39,40 juta. Di saat yang sama,
dilaporkan 25 persen anak, usia hingga 5 tahun, menderita gizi buruk. Juga,
kematian ibu 307 per 100.000 kelahiran, atau tiga kali kematian di Vietnam dan
enam kali Malaysia atau Tiongkok. Per tumah tangga, pada Januari 2006 terdapat
17,8 juta, atau 33,4 persen, rumah tangga miskin (RTM). Menurut pidato
kenegaraan terakhir, ada 192 juta, atau 36,1 persen RTM. Sementara target RPJM
12,5 persen pada 2006.
Indikator statistik di atas mungkin sudah berubah
dalam setahun terakhir setelah adanya bencana alam: banjir, kekeringan, tanah
longsor, semburan gas Lapindo, tsunami, angin pitung beliung, taifun, dan
gelombang laut yang menyerang negeri ini, yang membuat masyarakat kehilangan
peluang usaha dan peluang bekerja.
Bagi petani, nelayan, dan buruh, sehari tidak
bekerja, besar dampaknya bagi pendapatan mereka. Bencana alam seperti yang
terus terjadi belakangan ini membuat mereka miskin atau miskin sekali setelah
tidak bekerja atau kehilangan aset-aset produktifnya. Dalam kondisi miskin,
apalagi sangat miskin, berbagai macam penyakit akan mudah menyerang yang pada
akhirnya menurunkan usia harapan hidup.
Memang kejadian alam di luar kontrol manusia. Tetapi
bencana alam mungkin lebih terjadi karena alam telanjur rusak oleh buatan
tangan manusia yang miskin atau yang terlalu serakah. Manusia yang miskin dan
serakah merusak alam, dan alam yang rusak memiskinkan manusia.
Celakanya mereka yang merusak alam semakin kaya
sementara penduduk lainnya, sebaik dampaknya, menjadi miskin. Tetapi kesalahan
itu tidak selamanya ada pada masyarakat dan penduduk. Sangat mungkin, program
pemeritah di pusat dan daerah memang tidak menempatkan keberlanjutan lingkungan
sebagai aspek penting. Alam dipaksa memberikan pertumbuhan ekonomi dan itu berada
di atas daya dukungnya.
Maka bercermin dari banyak negara lain di dunia,
yang berhasil dan tidak berhasil mengelola dan memanfaatkan alam bagi
pembangunan ekonominya, serta sebagai upaya mengurangi jumlah orang miskin yang
terakumulasi akibat bencana alam, sudah saatnya Indonesia mengikuti strategi
Triple Track Plus. "Plus" yang dimaksud, sesuai projek MDGs, adalah
pro-environment. Dengan be-gitu sejak saat ini, Indonesia mengikuti bukan lagi
Triple Tracks tetapi Fourfold Tracks Strateg
5.
PEMBAHASAN
Ø
Peran
Kearifan Lokal Dalam Kelestarian Lingkungan
Secara yuridis formal kearifan lokal telah diperkenalkan
dalam pasal 1 ayat (30) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 yang menyatakan bahwa
kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan
masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan secara
lestari. Sementara itu, Prabandani (2011) menyatakan pengertian kearifan lokal
ialah nilai-nilai, norma, hukum-hukum dan pengetahuan yang dibentuk oleh ajaran
agama, kepercayaan-kepercayaan, tata nilai tradisional dan pengalaman-pengalaman
yang diwariskan oleh leluhur yang akhirnya membentuk sistem pengetahuan lokal
yang digunakan untuk memecahkan permasalahan-pemasalahan sehari-hari oleh
masyarakat. Unsur-unsur yang terdapat dalam kearifan lokal antara lain ialah
nilai, norma, hukum dan pengetahuan, sistem pengetahuan lokal dan pemecahan
masalah sehari-hari. Kearifan lokal memiliki sifat makrososial, metodologis
dapat berasal dari adat-istiadat.
Dalam hubungannya dengan lingkungan, Purba (2006) menyatakan
bahwa kearifan lingkungan (ecological
wisdom) merupakan pengetahuan yang diperoleh dari abstraksi pengalaman
adaptasi aktif terhadap lingkungannya yang khas. Pengetahuan tersebut
diwujudkan dalam bentuk ide, aktivitas dan peralatan. Kearifan lingkungan yang
diwujudkan ke dalam tiga bentuk tersebut dipahami, dikembangkan, dipedomani dan
diwariskan secara turun-temurun oleh komunitas pendukungnya. Sikap dan perilaku
menyimpang dari kearifan lingkungan, dianggap penyimpangan (deviant), tidak arif, merusak,
mencemari, mengganggu, dan lain-lain.
Sementara itu, Prof. Suwardi, MS (dalam Purba, 2006)
menyatakan kearifan lingkungan sebagai aktivitas dan proses berfikir, bertindak
dan bersikap secara arif dan bijaksana dalam mengamati, memanfaatkan dan
mengolah alam sebagai suatu lingkungan hidup dan kehidupan manusia secara
timbal balik. Kesuksesan kearifan lingkungan itu biasanya ditandai dengan
produktivitas, sustainabilitas dan equitablitas (Atapuah dalam Purba, 2006).
Kearifan lokal masyarakat desa tertentu dalam pelestarian lingkungan hutan
tersusun atas nilai-nilai, norma, hukum-hukum dan pengetahuan yang dibentuk
oleh ajaran agama, kepercayaan-kepercayaan, tata nilai tradisional dan
pengalaman-pengalaman yang diwariskan oleh leluhur yang akhirnya membentuk
sistem pengetahuan lokal yang digunakan oleh masyarakat untuk memanfaatkan,
mengelola, serta menjaga hutan dan sumber daya yang terkandung di dalamnya agar
tetap lestari. Hal ini dikarenakan masyarakat sadar bahwa keberadaannya sangat
bergantung pada hutan di sekitar tempat tinggalnya.
Seperti halnya masyarakat Bali pada umumnya
menganut suatu konsep hidup yang disebut Tri
Hita Karana. Tri Hita Karana ialah
suatu konsep yang ada di dalam kebudayaan masyarakat Bali yang berintikan pada
keharmonisan hubungan antara manusia-Tuhan, manusia-manusia, manusia-alam
merupakan tiga penyebab kesejahteraan jasmani dan rohani (Dhana, 2006). Adanya
konsep hidup ini dalam kehidupan masyarakat desa adat Tenganan Pegringsingan
telah menuntun mereka untuk bersikap dan berperilaku ramah serta senantiasa menjaga
keselarasan hubungan yang harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam,
termasuk juga dengan lingkungan hutannya.
ajaran agama yang dianut oleh seluruh warga desa adat
Tenganan Pegringsingan juga mengajarkan bahwa manusia harus selalu senantiasa
menjaga hubungan harmonis dengan lingkungan alamnya. Hal ini dikarenakan antara
manusia dengan alam dipercaya mamiliki hubungan secara timbal-balik.
Suryadarma (tanpa tahun) menyatakan atas dasar pengertian
dan realitas tersebut, kehadiran manusia sangat mutlak tergantung pada
keberadaan tumbuhan dan masyarakat tradisional mengakui eksistensi tumbuhan
sebagai makhluk yang memiliki suatu kekuatan perlindungan terhadap manusia.
Pola sistem norma yang dianut sebagai alasan utama mengapa hutan dipandang sebagai
kawasan dikeramatkan. Pengkeramatan bukan ditafsirkan sebagai penyembahan,
tetapi satu bentuk rasa hormat terhadap tumbuhan sebagai bagian knot dalam notasi realitas kehidupan
atau samodhaya. Samodhaya tidak hanya menyangkut realitas kehidupan tetapi lebih
luas dari itu adalah sistem penunjang kehidupan. Kajian deep ecology mengakui realitas semua makhluk dan sistem penyangga
kehidupan memiliki nilai bagi dirinya sendiri dan bukan hanya bernilai atas
dasar kepentingan manusia.
Adanya keyakinan-keyakinan yang telah terlembaga dan
berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat tersebut sangat berpengaruh
terhadap kelestarian lingkungan hutan di desa. Keyakinan-keyakinan tersebut
telah mampu menata tindakan-tindakan dan tingkah laku berinteraksi antara manusia
dan lingkungan alam, termasuk juga menata tindakan-tindakan dan tingkah laku
masyarakat desa dalam memanfaatkan dan mengelola hutan serta sumber daya yang
terkandung di dalamnya. Terkait dengan kepercayaan atau mitos yang terdapat
pada suatu masyarakat, Susilo (2009: 35) menyatakan bahwa seperti banyak
diungkapkan penganut struktural, mitos memiliki banyak fungsi demi menciptakan
tertib sosial, baik fungsi psikologis, maupun fungsi sosial. Dari fungsi
psikologis, mitos mampu mengurangi kecemasan-kecemasan, sedangkan fungsi sosial
ia mampu menumbuhkan solidaritas kolektif, identitas kolektif, keharmonisan
komunal, dan stabilitas kultural. Mitos tersebut berfungsi dan berpengaruh
dalam memberikan arah dan pedoman bertingkah laku terhadap lingkungan hutan dan
sumber daya yang terkandung di dalamnya.
Disi laian indonesia juga Merespons berbagai persoalan
lingkungan hidup di atas.di
Indonesia telah ditetapkan
berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain yaitu: Undang Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1997
Tentang: Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 2004 Tentang: Sumber Daya
Air, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal.8
Dalam berbagai undang-undang di atas dinyatakan
bahwa lingkungan hidup Indonesia
sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan
dalam segala aspek sesuai dengan Wawasan
Nusantara; bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945
dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan
nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan
generasi masa depan; bahwa dipandang perlu melaksanakan
pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan
kemampuan
lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan hidup.
Selanjutnya dijelaskan pula bahwa penyelenggaraan
pengelolaan lingkungan hidup
dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma hukum dengan
memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat
dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Lebih jauh dinyatakan bahwa kesadaran dan kehidupan
masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang demikian rupa.
Ø Spiritualitas (Agama) dan Back to
Nature
Kesadaran internasional akan bahaya bencana
lingkungan sudah merebak sejak tahun
1970-an. Kesadaran bahaya lingkungan demikian melahirkan sikap dan perilaku masyarakat dunia untuk bersama-sama
menyelamatkan planet dunia yang hanya satu bumi.
Upaya penyelamatan lingkungan global perlu memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam program pelestarian
lingkungan. Dalam kepentingan ini masyarakat
lingkungan menggali seluruh potensi masyarakat untuk mensukseskan program penyelamatan lingkungan global.
Penggalian potensi ekologis masyarakat dunia
antara lain berupa penggalian budaya asli masyarakat yang pro ekologis. Demikian pula, masyarakat lingkungan
tidak segan-segan menggali nilai-nilai spiritual religius
yang dimilki oleh masyarakat beragama.
Dalam kaitan ini agama dengan sisi spiritualitasnya
diyakini sebagai sumber kekuatan
yang besar dan kontributif untuk mengembalikan keutuhan dan mengerem laju kepunahan. Selain itu, spiritualitas
agama dianggap mampu mengajak berbagai pihak mempersatukan,
menjadi inspirasi, dan memberikan penguatan eksistansial.
Dalam masyarakat religius, suara agama tetap meiliki
wibawa dan masih berkemampuan
untuk mempengaruhi pandangan hidup umatnya. Masing-masing denominasi memiliki warisan tersendiri
yang dapat didayagunakan. Untuk menghadapi soal
konsumerisme dewasa ini, kiranya
Umat Islam sejak dahulu diilhami oleh hidup
sederhana Nabi Muhammad SAW (
“ kemiskinan adalah kebanggaanku”) dan umat Islam awal sebagaimana digambarkan dalam hadis; dan oleh cara hidup
sederhana gerakan kaum Sufi yang kendati sering ditentang
Ortodoksi terus hadir dan memberi inspirasi kepada kehidupan praktis, khususnya di tengah umat Islam Sunni.
Meditasi kaum Sufi tentang Alquran dan perjalanan
mistik mereka dalam kedekatan dengan Allah didukung oleh hidup mereka yang ugahari, kemiskinan yang sukarela,
dan praktek askese.
Contoh agama lain,
seperti Buddhisme
memilki kemampuan khusus sebab ajarannya
yang sentral menyangkut hal mengatasi keinginan ketamakan dan kerakusan. Inilah salah satu hal utama yang ingin
dicontohkan dalam hidup para pertapa, biksu, dan biksuni.
Perhatian sentral dalam jalan hidup seorang Buddhis menyangkut hal melepaskan diri dari konsep palsu
tentang egonya, suatu konsep yang kini begitu ditanamkan
oleh dunia konsumerisme dengan warta iklannya.
Semua aliran spiritual memiliki warisan yang
mengilhami umatnya untuk menahan
diri dari hidup mewah dan pemborosan; dan mengajak untuk hidup berkecukupan saja. Kelbihan dan
kekurangan sama-sama salah ( Confucius XI.15). Orang
yang tahu bahwa ia berkecukupan adalah kaya ( Tao Te Ching). Orang-orang yang sungguh digerakkan oleh warisan
spiritualnya, tidak lagi mencari-cari makanan atau
barang yang mewah dan eksotis yang perlu diterbangkan dari ujung bumi, tidak lagi terus membongkar-bangun dan
menambah kediamannya yang sudah cukup , tidak berganti-ganti
sarana transport dan komunikasinya yang masih baik dengan selalu
mencari
produk yang lebih akhir dan canggih lagi atau memboroskan energi serta mencemarkan lingkungan dengan perjalanan
yang tidak perlu atau cara yang tak ramah lingkungan.
Kalau makin banyak orang diilhami oleh agamanya
untuk secara bebas memilih hidup
sederhana dan berkecukupan, langkah penghematan yang lebih structural menyangkut industri, tarnsportasi,
penyejuk udara di gedung-gedung, lama kelamaan juga
akan disambut baik oleh masyarakat.
Gerakan di atas diharapkan menjadi gerakan
pencerahan dan edukasi bersama, dilakukan
dengan cara penyadaran kepada sebanyak mungkin orang melalui pendidikan publik, pendidikan lingkungan hidup di
dalam kurikulum sekolah lewat muatan local dan
pendidikan agama, juga lewat acara-acara keagamaan. Dibangun kemauan gaya hidup sederhana yang berorientasi pada
penghargaan terhadap alam (back to nature). Tujuan akhirnya, membangun bersama-sama
sebuah dunia sebagai rumah idaman.
6. Penutup
Sebagai catan penutup dan akhir dari keseluruhan
pembahasan tulisan ini, perlu dikemukakan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Peran budaya dan kearifan likal sangat tinggi dalam
pelestarian lingkungan karena masyarakat menganggap bahwa hubungan timbal balik
antara manusia dan lingkungan sangatlah besar. Dengan memahami seperti itu,
kesadaran masyarakat dalam melestarikan lingkungan sangatlah tinggi. Meskipun
nanti terdapat kerusakan pada lingkungan masyarakat yang mempunyai budaya
tertentu akan segera memperbaikinya.
2. Mitos dalam masyarakat dapat menata pola perilaku
masyarakat dan membantu norma-norma yang berjalan dalam melindungi kelestarian
lingkungan
3. Keserasian
lingkungan hidup dalam agama-agama memiliki empat dimensi yang saling terkait antara satu sama
lain. Empat dimensi yang dimaksud adalah dimensi teologik,
antropologik, kosmologik dan eskatologik.
4. Diskursus
dan gerakan spiritualitas (religius) diharapkan menjadi gerakan pencerahan dan edukasi bersama,
dilakukan dengan cara penyadaran kepada sebanyak mungkin
orang melalui pendidikan publik, pendidikan lingkungan hidup di dalam kurikulum sekolah lewat muatan lokal dan
pendidikan agama, juga lewat acara-acara keagamaan.
Dibangun kemauan gaya hidup sederhana yang berorientasi pada penghargaan terhadap alam (back to
nature). Tujuan akhirnya, membangun bersamasama sebuah dunia sebagai rumah idaman.
5. Agama dengan dimensi spiritualitasnya mempunyai
lima resep dasar untuk menyelamatkan
bumi, yaitu Reference atau keyakinan yang dapat diperoleh dari teks (kitab-kitab suci) dan kepercayaan yang
mereka miliki masing-masing; Respect, penghargaan
kepada semua makhluk hidup yang diajarkan oleh agama sebagai makhluk Tuhan; Restrain, kemampuan untuk
mengelola dan mengontrol suatu supaya penggunaanya
tidak mubazir; Redistribution, kemampuan untuk menyebarkan kekayaan; kegembiraan dan kebersamaan
melalui langkah dermawan; misalnya zakat, infak
dalam Islam; Responsibility, sikap bertanggung jawab dalam merawat
kondisi bumi dan lingkungan. Dalam hal ini,
kepedulian terhadap bumi amat tergantung pada bagaimana
aspek-aspek ajaran agama disajikan dan dieksplorasi dengan bahasa serta idiom-idiom modern dan ekologis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar