1.1 Pendahulaun
Uraian mengenai pendekatan yang dipilih oleh peneliti untuk menjawab permasalahan penelitian secara garis besar harus dikemukakan dalam bagian latar belakang formal. Alasannya sudah dikemukakan pada bagian depan. Oleh karena demikian pentinngnya uraian mengenai pendekatan penelitian wilayah dalam perspektif geografi maka uraian ini penulis sajikan dalam bagian khusus. Sekali lagi perlu penulis tegaskan bahwa uraian mengenaia pendekatan penelitian wilayah yang disajiakan dalam buku ini ditekankan dalam perspektif keilmuan yang menekankan pada objek kajian geosfera dan subjek kajian geografi. Istilah pendekatan (approach) berasala dari akar kata dekat yang dibedakan dengan istilah jauh. pemakaian kedua kata ini selalau dikaitkan dengan objek-objek sasaran. Minimal ada dua objek dengan spesifikasi lokasi tertentu yang dapat diberi notasi dekat atau jauh dan kedua istilah ini sangat relatif adanya dan seseorang tidak dapat menentukan secara pasti apaya yang dikatakan sebagai dekat dan apa yang dikatakan jauh tanpa membuat perbandingan. Dengan memberikan perbandingan antara jarak objek-objek seseorang dapat memberikan notasi dekat atau jauh. kedua istilah nii mempunyai konsekuensi pemahaman yang berbeda terhadap objek. Istilah dekat lebih jelas, lebih detail, lebih akurat dibandingkan dengan jarak yang tidak dekat/jauh. sementara itu kata pendekatan mengandung makna suatu proses yang dilalkukan untuk menjadi lebih dekat. Upaya untuk menjadi lebih dekat bermakna sebagai suatu upaya untuk dapat memahami objek secara lebih baik, lebih jelas, lebih detail dan lebih akurat. Apabilah istilah pendekatan (approach) diterapkan untuk sebuah penelitian mengenai suatu objek geosfera maka istilah iini bermakna sebagai suatu upaya/cara/metode untuk dapat memahami karakteristik fenomena geosfera tersebut secara lebih baik, lebih jelas, lebih detail dan lebih akurat. Sekali lagi perlu dipahami bahwa pendekatan penelitian yang dipilih seorang peneliti untukmengkaji objek kajiannya mencerminkan jadi diri keilmuanya (scientific dignity). Objek kajian beoleh saja sama, namun apabilah pendekatan penelitian yang digunakan berbeda maka karya ilmiah yang dihasilkan juga akan berbeda. Hal inilah yang berkali-kali penulis tekankan mengapa uraian mengenai pendekatan penelitian yang diadopsi harus dikemukakan.
3.2 pendekatan utama geografi
Karya ilmiah tidak lain merupakan salah satu bentuk scientific accountability seseorang mengenai biddang kajian tertentu. Seseorang yang menamakan dirinya sarjana pada kajian bidang tertentu semestinyalah mempunyai karya ilmiah yang dipublikasikan atau walaupun tidak dipubliaksikan merupakan karya ilmiah yang paling tidak disimpan diperpustakaan yang dapat dibaca oleh masyarakat baik kalangan awam maupun akademis. Uah pikiran ilmiah baru yang dituangkan dalam wujud karya ilmiah inilah yang sangat didambakan dunia dalam ilmu pengetahuan, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan dapat terjadi secara berkesinambungan terus-menerus.
Warna karya ilmiah, khususnya skripsi, tesis atau disertasi akan tampak pada pendekatan yang dibangun peneliti dan kemudian diikuti secara konsisten dan konsekuen dalam pembahasanya. Alasan pemilihan pendekatan, pemaknaan pendekatan, dan oprasionalisasi pendekatan harus dikemukakan terlebih dahulu agar alur pemikiran dan posisi akademis peneliti mengenai pelaksanaan penelitiannya dapat diketahui pembaca denga baik. Setiap bidang kajian mempunyai scientific dignity yang menjadi ciri khas bidang kajian yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa adalah sangat tidak logis, seseorang melakukan penelitian dengan pendekatan ”bukan geografi” menghasilkan karya bersifat geografis dan kemudian mendapat atribut sebagai sarjana geografi. Demikian halnya dengan bidang kajian lainya. Dalam kenyataan banyak pula diketemukan adanya sarjana yang mempunyai kemampuan keilmuan dalam bidang kajian yang berbeda, namun masiang-masing predikat kesarjanaan yang disandangnya pasti didukung oleh sebuah karya ilmiah dari bidang kajian tersebut. Sebagai contoh adal;ah seorang sarjana kehutanan yang melanjutkan studinya dengan mengambil program S2 dalam bidang ilmu ekonomi dan kemudian dilanjutkan memasuki program S3 dalam bidang geografi. Namun demikian masing-masing jenjang studi pasti didukung oleh sebuah karya ilmiah tertentu (S1 dengan skripsi, S2 dengan tesis, S3 dengan disertasi). Dalam ilmu geografi terdapat 3 pendekatan utama, yaitu spatial approach, ecological approach dan region complex approach. Ketiganya tidak muncul secara instan, namun melalui proses perkembangan keilmuan yang sangat lama. Hagget (1983) membahasnya dalam sub-judul The Legancy of the Past, yang menjelaskan perkembangan paradigma keilmuan geografi dan kemudian menelorkan bentuk-bentuk pendekatan yang menjadi acuan utama studi Geografi kontemporer.pada saat ini muncul bentuk-bentuk pendekatan baru yang berasal dari bidang kajian lain (bukan Geografi) dan kemudian bidang kajian Geografi mengadopsinya. Pendekatan baru tersebut tidak mengakar pada perkembangan paradigma keilmuan Geografi sendiri dan tidak bersifat region –based science yang menjadi jati diri Geografi. Hal ini juga diperbolehkan dalam suatu bidang kajian selama bidang kajian tersebut tidak kehilangan jati dirinya sebagaimana telah dikemukakan di bagian depan. Untuk memberi warna sebuah karya ilmiah sebgai bentuk scientific dignity dalam bidang Geografi., sebgai contoh, maka apa pun pendekatan baru yang dikemukakan atau diadopsi, peneliti harus tetap berorentasi pada salah satu atau gabungan dari ketiga macam pendekatan utama geografi ini yang menekankan pada space sebagai variable;man-environment inter-relationship atau region complex system agar fitra geografi tidak hilang (Goodall,1987).
Mengapa ketiga pendekatan tersebut dianggap sebagai pendekatan utama? Tiga macam pendekatan utama geografi tersebut tidak muncul secara instan, namun melalui proses perkembangan ilmu pengetahuan geografi itu sendiri yang terjadi dalam waktu yang lama. Berdasarkan perkembangan paradigma geografi, dikenal ada 4 macam paradigma dengan karakteristik masing-masing dan hal inilah yang kemudian mendasari karakteristik pendekatan geografi. Keempat paradigma keilmuan geografi tersebut adalah (1) paradigma eksplorasi ( eksploration paradigm), (2) paradigma kelingkungan (environmentalism paradigm), (3) paradigma kewilayaan (regionalism paradigm), dan (4) paradigma kerungan (spatial paradigm). Keempat jenis paradigma keilmuan geografi tersebut mempunyai ciri-ciri yang berbeda satu sama lain dan hal inialah yang kemudian mendasari kemunculan pendekatan-pendekatan geografi yang dikenal saat ini (Tabel 3.1).
Tabel 3.1keterkaitan Paradigma Keilmuan Geografi dengan Pendekatannya
Paradigma
|
Karakteristik
|
Pendekatannya
|
Paradigma eksplorasi ( eksploration paradigm), dan
|
Pemetaan dan penggambaran daerah baru yang memotivasi penelitian dan menghasilkan tulisan-tulisan sederhana tentang daerah baru
|
Belum mempunyai ciri khusus karena dianggap belum berupa metode ilmiah
|
Paradigma kelingkungan (environmentalism paradigm),
|
Analisis yang lebih sisitematis tentang peranan elemen lingkungan terhadap pola kegiatan manusia. Analisis morfometrik dan kausalitas mendominasi dan difokuskan hanya pada wilayah tertentu.
|
Ecological approach
|
Paradigma regionalisme (regionalism paradigm),
|
Analisis lebih mendalam dan lebih luas dengan membandingkan wilayah satu dengan lainnya dalam penekanan pada keterkaitan antara elemen lingkungan dengan kegiatan manusianya.
|
Regional complex approach
|
Paradigma analisis spatial (spatial analysis paradigm).
|
Analisi pada ruang yang lebih khusus dimana space dianggap sebagai variable utama disamping variabel lain yang banyak dilibatkan. Teknik-teknik analisis kuantitatif mendominasi pada awalnya dan kemudian terjadi penggabungan teknik analisis kuantitatif dan kualitatif.
|
Spatial approach
|
Sumber:Herbert dan Thomas, 1982; Johnston, et al., 2000.
Apabilah keempat perkembangan paradigma keilmuan Geografi tersebut diringkaskan, sebenarnya hanya ada 2 periodisasi saja, yaitu (1) perkembangan paradigma keilmuan tradisional dan (2) perkembangan paradigma keilmuan kontempore (Herbert and Thomas, 1982). Perkembngan paradigma tradisional ditandai oleh 3 macam perkembngan paradigma yaitu: (1) paradigma eksplorasi ( eksploration paradigm), (2) perkembnagn paradigma kelingkungan (environmentalism paradigm), (3) perkembangan paradigma kewilayaan (regionalism paradigm). Perkembangan ketiga macam paradigma tersebut terjadi sampai pertengaan abad XX yang didominasi oleh perkembangan kualitatif. Sementara itu pada 60-an terjadi revolusi kuantitatif yang mempunyai pengaruh sangat hebat terhadap pendekatan keilmuan dalam bidang geografi. Masa ini ditandai denga diketemukanya alat-alat hitung elektronik dan teknik-teknik analisis yang lebih canggih dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Dengan peralatan baru tersebut seoranag penelti dapat menganalisis jauh lebih banyak variables dan dapat melaksanakan analisis dengan akurasi yang jauh lebih tinggi dan dalam waktu jauh yang lebih singkat. Metode-metode kuantitatif menjadi trend yang mewarnai setiap analisis geografi dan bahkan sempat muncul suatu stigma bahwa setiap analisis geografi tidaka akan bermutu apabila tidak menggunakan metode analisisi kuantitatif. Anggapan ini pada masa itu tidak hanya mewarnai perkembngan paradigma keilmuan geografi saja, namun banyak bidang kajian lain yang terimbas olehnya. Periode setelah tahun 60-an disebut periode kontemporer dan didomonasi oleh analisis keruangan yang banyak dilakukan para peneliti fenomena geosfer dan memeunculkan babakan baru dalam studi geografi yaitu periode perkembangan paradigma keilmuan kontemporer. Perkembangan selanjutnya ternyata memunculkan perubahan pandangan yang berbeda, setelah hampir dua dekade pandangan yang menganggap analisis kuantitatif lebih baik daripada analisis kualitatif. Beberapa pengalaman peneliti-peneliti kemudian menemukan kenyataan bahwa analisis geografi yang semata menekankan pada analisis kuantitatif tidak dapat menguak sepenuhnya fenomena geosfer yang didalamnya terdiri dari elemen-elemen lingkungan (biotic, abiotic,social, cultural, economic,poitical environment elements) yang sedemikian banyak dan kompleks. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa teknik-teknik analisis kuantitatif semata tidak mempunyai kemampuan untuk memahami fenomena kehidupan sebenarnya (the real world) sehingga peneliti mulai mulai memberikan apresiasi kembali terhadap pentingnya analisisi kualitatif dalam bidang geografi. Perkembangan paradigma keilmuan kontempore dalam analisis geografi adalah menggabungkan metode analisis kuantitatif dan kualitatif yang keberadaanya saling melengkapi dan saling mengeliminir kekurangan masing-masing.
3.3 Pendekatan Keruangan
istilah pendekatan kerungan merupakan istilah sangat dikenal oleh mereka yang mengenal studi geografidengan baik. Berbagai tulisan berkenaan dengan analisis geografi banyak mengulas mengenai hal ini, namun sejauh ini tidak ada yang mengunakan kejelasan yang memadai mengenai maknanya sendiri. Istilah pendekatan keruangan sebgai suatu istilah utuh terdiri dari dua kata yaitu pendekatan di di satu sisi dan istilah keruangan di sisi lain. Istilah pendekatan (approach) sudah dijelaskan dibagian sebelumnya, sehingga apabila istilah pendekatan keruangan dijabarkan ke dalam suatu definisi maka artinya tidaka lain adalah suatu metode untuk memahami gejala tertentu agar mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam melalui media ruang yang dalam hal ini variabel ruang mendapati posisi utama dalam setiap analisis. Gejala tertentu dalam studi geografi adalah gejala geosfera (geospheric phenomena) hal ini diperkuan oleh goodall (1987) yang mengemukakan bahwa pendekatan keruangan diartikan sebagai suatu metode analisis yang menekankan pada variabel ruang. Secara lengkap ungkapannya dapat disimak dalam kalimat berikut:
spatial approach is an approach in the study of geography focussing on the rocording and description of geospheric phenomena (human and natural phenomena) around the earth’s surface, with special attention to the significance of space as variable.
Sejauh ini pengertian ruang belum mendapat penjelasan yang memadai. Agar memperoleh pemahaman yang mendalam mengenai pendekatan keruangan, maka seseorang harus mengetahui makna sebenarnya arti keruangan itu sendiri. Dalam bahasa indonesia, kata keruangan merupakan kata bentukan dari akar kata ruang, awalan ke dan akhiran an dalam hal ini memberikan makna sifat keterkaitan. Istilah ruang (space) merujuk pada makna keluasan (ektent) yang dapat diartikan secara absolut dan relatif. Arti absolut dari ruang atau ruang absolut ad lah ruang yang bersifat rill, maujud/kasat mata dan dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung di permukaan bumi. Sebagai contoh adalah daerah permukiman, daerah persawaan, daerah terkena banjir bandang, daerah yang mengalami kerusakan parah akibat terkena hempasan tsunami dan lain sebagainya. Media peta, foto udara maupun citra satelit dapat dimanfaatkan secara langsung untuk menentukan lokasi maupun luasnya.
Sementara itu, arti relatif sesuatu ruang atau ruang relatif merupakan konsep yang diciptakan oleh manusia dan bnersifat prsepsual semata dan tidak kasat mata. Sebagai contoh adalah istialah ruang ekonomi (economic space), ruang ideologis (ideological space), ruang personal (personal space), ruang publik (public space), ruang sosial (sosial space) yang maknanya sangat relatif dan sangat sulit diamati secara kasat mata dansangat sulit ditentukan batas-batasnya. Namun demikian, seorang peneliti akan berusaha membuat batasan-btasan tertentu agar pengertian runang ekonomi, ruang ideologis, ruang personal, ruang publik, ruang sosial dan lain sebagainya dapat dapat digambarakan dalam peta tematik, karena variabel runang menjadi basis utama analisis yang akan dibangun. Ditilik dari dari dimensi praktis, ruang dapat diartikan sebagai bagian tertentu dari permukaan bumi yang mampu mengakomodasikan berbagai bentuk kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya.
Sampai saat ini belum dijumpai kejelasan yang memadai mengenai aplikasi pendekatan keruangan dalam studi geografi sendiri, sehingga hal ini mengakibatkan berbagai kegamangan yang dialaimi oleh mahasiswa, guru-guru dan bahkan dosen diperguruan tinggi. Hal ini penulis sadari sepenuhnya, sehingga berbagai studi kmprehensif terhadap sumber bacaan baik berupa buku-buku teks maupun publikasi ilmiah lainnya penulis lakukan dan menemukan paling tidak ada 9 tema analisis dalam pendekatan keruangan, yaitu:
(1) Analisis pola keruangan (spatial pattern analisys);
(2) Analisis struktur keruangan (spatial sturctur analisys);
(3) Analisis proses keruangan (spatial process analysis);
(4) Analisis interaksi keruangan (spatial interaction analiysis);
(5) Analisis organisasi/sistem keruangan (spatial organization /spatial system analysis);
(6) Analisis asosiasi keruangan (sptial association analysisi);
(7) Analisis komprasi keruangan (spatial comparition analysisi);
(8) Analisis kecenderungan keruangan (spatial tendency analysis)
(9) Analisis sinergisme keruangan (spatial sinergismanalysis).
Dalam mengadopsi pendekatan keruangan ini, peneliti dapat mendasarkan analisisnya pada sutu atau gabungan beberapa tema analisis. Pemilihan tema-tema analisis tergantung pada sasaran peneliti dan kemendalaman analisis yang hendak dicapai peneliti.sebagai contoh untuk peneliti jenjang S3, sutu penelitian diharapkan sampai pada analisis prognostani spasial yang diperoleh, dimana peneliti mampu membuat prediksi-prediksi yang bakal terjadi pada waktu yang akan datang terhadap fenomena geosfera yang ditelitinya. Penelitian mengenai proses formatif permukiman liar (seperti dicontohkan dibagian depan) dapat diamati dari pendekatan keruangan yang menekankan pada analisis pola kerunagan, struktur keruangan dan proses keruangan. Penggabungan antara spatial pattern analysisi, spatial stuctur analysisi, dan spatial process analysisi diharapkan dapat menghasilkan analisismendalam mengenai proses formatif permukiman liar dan akhirnya mampu menciptakan model formatif permukiman liar yang secara ilmiah dapat dijadikan sebagai dasar prognotasi kedepan mengenai kecenderungan spasial (spatial trend/spatial tendency analysis) permukiman liar yang bakal terjadi. Untuk penelitian pada level S1 dapat memilih salah satu tema analisis saja, karena satu tema analisis saja sudah akan menyajikan karya ilmiah yang bermutu apabilah dikemas dengan baik dan demikian halnya untuk penelitian dalam level S2.
3.3.1 Analisis Pola Keruangan
Dalam setiap kajian mengenai fenomena geosfera yang terjadi di bagian permukaan bumi tertentu seseorang peneliti dihadapkan pada kompleksitas gejala yang ada. Untuk memahami gejala yang ada di permukaan bumi, peneliti dituntut memahami sifat kompleksitas gejala itu sendiri, karena dari sinilah seorang peneliti akan mampu menemukenalai berbagai peubah/variabel yang harus dikemukakan dalam rangka menjawab permasalahan penelitian. Kompleksitas gejala di permukaan bumi dapat diklasifikasikan ke dalam 2 golongan, yaitu (1) ditinjau dari proses terbentuknya dan (2) ditinjau dari ekspresi keruanganya. Ditinjau dari proses terbentuknya (formative proscess), gejala yang ada dapat dibedakan menjadi gejala alami (natural phenomena), gejala buatan manusia (artificial phenomena) dan gejala yang terbentuk karena gabungan proses alami tanpa ada campur tangan manusia didalamnya, sebagai contoh sungai, gunung, tanah, danau, iklim dan lain sebagainya. Gejala buatan manusia adalah gejala yang terbentuknya karena dibuat oleh manusia antara lain permukiman, industri, kota, jalan, gedung dan lain sebagainya. Contoh mengenai gejala artificial-natural dapayt dikemukakan disini yaitu permukiman manusia yang dibuat pada suatu gua alami dan didalamnya kemudian ditambahkan ruang-ruang tertentu dengan memahatnya, bentuk permukiman seperti ini disebut permukiman semi alami/semi artificio natural. Penulis sempat mengunjungi tipe pemukiman ini di kompleks Konservasi suku Indian di negara Colorado, USA yang disebut Mesa verde Complex. Dalam hal ini, perlu dibedakkan pula bahwa ada bentuk permukiman gua yang terjadi karena proses alami dan tidak menambah atau mengurang i bentuk asli dari gua, maka permukiman tersebut disebut permukiman alami (natural settlement).
Ditinjau dari ekspresi keruangannya, gejala dapat dibedakan menjadi gejala fiisk dan non-fisik. Gejala fisik adalah gejala yang eksisitensinya menunjukan bentuk yang dapat disentuh secara fisik (tangible) sebagai contoh adalah jalan, gedung, sungai, danau, tanah, dan lain sebagainya. Sementara itu gejala non fisik adalah gejala yang tidak dapat disentuh secara fisik (untangible) sebagai contoh adalah persepsi, bahasa, tingkat pendidikan, agama dan lain sebagainya. Selama ini memang terdapat kekeliruan yang kaprah bahwa apabila seseorang mengatakan physical phenomena selalu diartikan sebagai natural phenomena, padahalk banyak gejala fifik yang merupakan hasil bentukan manusia seperti jalan, gedung, saluran, irigasi dan lain sebagainya. Untuk maksud identifikasi variabel yang lebih tepat perlu menggabungkan dua penggolongan di atas sehingga kemudian akan dikenal 4 istilah utama dalam ilmu geografi. Istilah pertama adalah gejala fisik alami (physico natural-phenomena) yaitu gejala yang ekspresi keruanganya bersifat fisik dan proses pembentukanya disebabkan oleh kekuatan alam seperti sungai, danau, gunung. Istilah kedua adalah gejala fisik budayawi/artifisial (physico-artificial phenomena) yang dapat diartikan sebagai gejala yang ekspresi keruangannya bersifat fisik namun proses pembentukannya disebabkan oleh kegiatan manusia seperti gedung, jalan, saluran irigasi, permukiman buakan alami, kota. Istilah ketiga disebut sebagai gejala non-fisikal budayawani (nonphysico-cultural phenomena) yang dapat diartikan sebagai sutau gejala yang memang tidak bersifat fisik (untangible) dan eksisitensinya karena daya cipta, rasa, dan karsa manusia. Beberapa contoh diantaranya adalah persepsi, tingakat pendidikan, perilaku dan lain sejenisnya. Istilah keempat adalah gejala non-fisikal alami (nonphysico-natural phenomena) yang dapat diartikan sebagai suatu gejala yang tidak bersifat fisik (untangible) namun terjadinya karena kekuatan alam dan dalam hal ini dapat dicontohkan seperti suhu, kandungan senyawa gas, tertentu, udara. Ada beberapa pendapat mengenai hal yang terakhir ini dan kebanyakan literatur selalu memasukan ke dalam gejala fisik karena keberadaannya mengakibatkan dampak fisikal, walaupun secara haefiah tidak tepat adanya.
Untuk mampu mengenali kompleksitas gejala di permukaan bumi yang mendasarkan pada eksisitensi keruangannya. Manusia masih mengalami kendala yang amat besar berkenaan dengan kemampuan alat indrawinya yang sangat terbatas. Sebagai contoh, untuk mengetahui keadaan sebaran permukiman di suatu kelurahan seseorang tidak mampu, bahkan untuk mengetahui sebaran rumah di wilayah yang lebih sempit dari itu saja seseorang masih mengalami kesulitan. Terbatasnya kemampuan indra penglihatan menjadi sebabnya. Untuk mengatasi hal ini, seseorang peneliti memerlukan alat bantu (auxiliary tool) tertentu yang memungkinkan untuk melihat kondisi permukaan bumi tertentu dan alat tersebut adalah peta atau alat bantu lainya yang mampu menggambarkan permukaan bumi dengan sebuah model gambaran permukaan bumi, seseorang mampu mengamati mengamati kondisi permukaan bumi dalam dimensi horizontalnya. Dalam sebuah petapun terkadang seseorang masih dihadapkan pada kompleksitas simbol yang digunakan, sehingga perlu upaya untuk lebih menyederhanakanya.secara garis besar dalam sebuah peta rupa bumi/topografi yang kompleks dapat dikenalai ada 3 kenampakan utama, yaitu (1) kenampakan titik (point features), (2) kenampakan garis (line features), dan (3) kenampakan bidang (areal features). Untuk setiap analisis geografi baik melalui pendekatan keruangan, ekologikal dan kompleks wilayah, keberadaan peta merupakan suatu keharusan.
Selanjutnya, untuk maksud memberikan iluminasi setiap analisis geografi, akan dikemukakan berbagai contoh sederhana agar pembaca mampu memahaminya dengan mudah. Untuk analisis pola keruangan, peneliti harus memahami terlebih dahulu mengenai batasan konsep yang digunakan, yaitu istilah pola (pattern) dan ruang (space). Pemahaman mengenai istilah ruang sudah dikemukakan pada bagian sebelumnya. Untuk memahami mengenai istilah pola (pattern) berikut ini akan dikemukakan salah satu definisi yang mengacu pada pemaknaan katanya sendiri. Menurut kamus bahasa inggris yang paling lengkap, the webster’s third new international dictionary (1966) yang dimaksudkan dengan pattern:
...the word pattern can be defined as atypical distribution of objects (can be point, lines or areas), a given or detectqable organitation of spatial unis....
Definisi tersebut dapat diartikan secara komprehensif sebagai suatu kekhasan sebaran objek, baik berupa titik-titik, garis-garis, atau areal-areal pada bagian permukaan bumi tertentu. Apabila istilah pola dan ruang digabungkan menjadi satu, yaitu pola keruangan (spatial pattern) maka dapat diartikan sebagai kekhasan sebaran keruangan (special spatial distribution) gejala geosfera di permukaan bumi. Oleh karena gejala keruangan sendiri terdiri dari elemen-elemen pembentuk ruang yang dapat diabstraksikan menjadi bentuk titik, garis atau area maka pola keruangan selalu berkisar pada kekhasan sebaran dari titik-titik, garis-garis atau areal-areal itu sendiri (Webster,1966, Coffey, 1981, yunus, 2001). Pertanyaan berikut yang muncul adalah bagaimana analisis pola keruangan dilakukan? Ada beberapa tahapan yang dilakukan peneliti mengenai analisis keruangan, yaitu (1) mengabstraksikan kenampakan yang akan diteliti menjadi bentuk-bentuk elementer seperti titik-titik, garis-garis atau bidang-bidang (areal). Upaya mengabstraksikan objek kajian harap selalu mengacu pada kaidah-kaidah kartografis terutama terkait dengan pemilihan simbol dan peletakan simbol; (2) mengkalasifikasikan kekhasan sebaran dari elemen-elemen pembentuk ruang yang akan dibahas; (3) menjawab pertanyaan geografis yang dikenal dengan 5 W 1 H, yaitu what, where, when, why, who,dan how.
3.3.1.1 Mengabstraksikan Objek Kajian
Oleh karena kenampakan permukaan bumi sangat kompleks gar peneliti mampu memehaminya dengan baik, perlu mengabstrksikannya terlebih dahulu. Tujuan utamanya adalah agar peneliti mampu pola keruangan/kekhasan sebaran kenampakan yang kan diteliti dengan lebih mudah. Pemilihan simbol sangat terkait dengan ciri kahas atribut yang akan digambarkan. Simbol titik dapat mencerminlkan objek-objek individual yang memang sudah berupa kenampakan titik, namun juga dapat mencerminkan kenampakan bidang dan hal ini sangat terkait dengan tampilan peta yang digunakan. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini misalnya satuan individual yang berupa orang, rumah, ternak, kendaraan, mata air, tegakan pohon dan lain sejenisnya dapat digambarkan dengan simbol titik. Sebuah kota yang kenyataanya di lapangan menampilkan dirinya sebagai kenampakan bidang dapat disimbolkan dalam kenampakan bidang maupun titik pada suatu peta dan hal ini tergantung dari skala petanya. Untuk peta-peta yang sangay kecil skalanya, kenampakan kota-kota di sutau negara hanya bersimbulkan titik-titik saja, namun apabila petanya memiliki skala peta yang besar maka kota-kota tersebut akan disimbolkan dalam bentuk simbol bidang. Sementara itu, kenampakan linear atau gejala yang mencerminkan gerakan pada umumnya digambarkan dengan simbol garis dan kenampakan yang bersifat dua dimensional dapat disimbolkan dalam simbol areal/bidang. Kerifan peneliti dalam memilih simbol-simbol dan menentukan skala peta yang akan digunakan untuk analisis pola keruangan sangat menentukan akurasi pembahasan.
3.3.1.2 Mengklasifikasikan Sebaran
Tahap ini peneliti mengidentifikasi kekhasan sebaran objek kajian. Hal ini sangat penting dilaksanakan karena menjadi dasar untuk mencari jawaban ilmiah sebaran apa (WHAT), mengapa (WHY) terjadi kekhasan sebaran seperti itu, bagaimana (HOW) sebaran tersebut dapat terjadi dan siapa (WHO) yang berperan dalam proses terjadinya sebaran atau siapa yang mengalami dampak negatif atau positif dari kekhasan sebaran tersebut. Khusus pertanyaan WHO dalam studi wilayah/geografi tidak harus mengacu pada manusia sebagai individu tau kelompok/komunitas tetapi dapat mengacu pada institusi dan bahkan pada agen peubah alami (natural agents of change) yang ada dilapangan, kekuatan angain, kekuatan air, dan kekuatan alami lainnya.
Contoh upaya identifikasi untuk klasifikasi sebaran dapat dikemukakan di sini: (a) mengetahui apakah sebaran tersebut mencerminkan adanya pola tertentu atau tidak (patterned, unpatterned distribution); (b) mengetahui spesifikasi sebaran, misalnya systematic distribution, clustered distribution, rundom distribution; (c) melakukan analisis terkait dengan pertanyaan 5W 1H. Untuk jelasnya lihat contoh dalam gambar-gambar berikut (Coffey, 1981).
3.3.1.3 Menjawab Pertanyaan Geografi
Pertanyaan geografi yang terdiri dari 5W1H adalah pertanyaan esensial untuk semua jenis pendekatan dalam geografi. Penjelasan dalam paragraf ini berlaku untuk pendekatan keruangan (spatial approach), pendekatan ekological (ecological approach), dan pendekatan kompleks wilayah (regional complex approach). Dalam uraian yang berkenaan dengan pendekatan lain dengan berbagai subtema analisisnya, hal ini tidak akan dikemukakan lagi karena esensinya sama. Untuk menjawab pertanyaan 5W1H di atas, berikut dikemukakan contoh untuk gambar 3.3 yang merupakan suatu daerah dengan sebaran titik yang menunjukan pola mengelompok (clustered pattern). Sebut saja bahwa tiik-titik tersebut merupakan simbol sebaran rumah. Apakah satu titik mewakili satu rumah atau mewakili beberapa rumah tergantung dari peneliti, namun perlu diingat bahwa peletakan titik-titik tersebut berada pada lokasi di mana rumah-rumah tersebut berada. Dalam contoh tersebut diketahui bahwa terdapat gejala pengelompokkan rumah-rumah yang berbeda-beda. Di bagian laut terdapat pengelompokan rumah-rumah yang sangat padat, di bagaian tenggara terdapat pengelompokan jarang, di bagian tengah wilayah terdapat pengelompokan rumah-rumah yang sangat jarang. Pada tataran ini peneliti baru mengidentifikasi kekhasan sebaran gejala (spatial pattern) dan belum melakukan analisis keruangan.
Karena titik-titik tersebut menyimbolkan rumah-rumah, kiranya kata tanya WHAT (apa) sudah terjawab, sementra itu pada saat menjawabnya. Dimensi waktu menjadi sedemikian penting untuk dikemukakan berhubungan setiap gejala di permukaan bumi tidak ada yang statis, khususnya fenomena manusia (human phenomena). Kata tanya tentang waktu dapat berupa titik waktu (a moment of time) atau suatu periode waktu(a periode of time). Perspektif waktu dapat diungkapkan dalam bentuk menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dekade, abad. Sebgai contoh ungkapan titik waktu adalah bulan Desember, tahun 2007 sementara ungkapan periode waktu adalah antara Bulan januari sampai dengan Desember, antara tahun 1997 sampai dengan 2007. Walaupun bulan Desember sendiri sebenarnya juga merupakan periode waktu (dari tanggal 1 sampai 31 Desember) namun dalam hal mengungkapkan gejala tertentu dapat diungkapkan sebagai satu titik waktu dan hal ini sangat tergantung dari tujuan penelitian itu sendiri. Hal yang diungkapkan lebih ditekankan pada akumulasi gejala (penjumlahan gejala) maupun rata-rata gejala. Jumlah pendapatan yang diperoleh kepala keluarga pada desember berarti akumulasi jumlah yang diperoleh mulai dari tanggal 1 sampai 31 desember. Sebaliknya apabila dikatakan mengenai rata-rata curah hujan pada Desember berarti jumllah curah yang dicatat berdasarkan data harian pada Desember. Keduanya mengacu pada satu titik waktu. Hal yang sama dapat diungkapkan dalam periode waktu yaitu suatu nilai akumulasi atau nilai rerata terkait dengan rentang waktu antara dua titik waktu. Baik titik waktu atau periode waktu akan memberikan informasi terkait dengan kekhasan ekspresi keruangan suatu gejala.
Kata tanya WHERE (di mana) mengungkapkan lokasi daerah penelitian maupun lokasi dari masing-masing kekhasan sebaran gejala. Seperti diketahui bahwa lokasi mempunyai beberapa tipe. Dalam menentukan pilihan mengenai dimensi lokasi yang akan dikemukakan, seorang peneliti harus memahami keterkaitan kepentingan variabel lokasi dengan topik bahasan yang akan dibangaun dalam penelitiannya. Sebagai contoh apabila dalam penggambaran rumah-rumah tersebut akan dikaitkan dengan peneliti mengenai kerawanan bahaya longsor maka peneliti hendaknya meneankan pada lokasi geologis, hidro geologis maupun geomorfologis, karena ketiganya diperkirakan berkaitan dengan stabilitas permukaan bumi di mana rumah-rumah tersebut berada. Pada formasi geologis, hidro geologis dan geomorfologis yang berada akan menampilkan karakteristik stabilitas permukaan bumi yang berada pula. Berbagai macam tipe lokasi antara lain (1) lokasi administratif, (2) lokasi astonomis, (3) lokasi sosial, (4) lokasi kultural, (5) lokasi ekonomis, (6) lokasi politik, (7) lokasi klimatologis (8) lokasi geologis, (9) lokasi geomorfologis, (10) lokasi hidrologis, (11) lokasi pedologis. Tugas: buat contoh lain terkait dengan penentuan jenis lokasi apa erkait dengan topik penelitian yang anda rencanakan dan kemukakan alasanya!
Pertanyaan WHY (mengapa) berupaya mengungkapkan alasan terjadinya kekhasan sebaran tersebut. Mengapa di bagian barat laut terdapat pengelompokan rumah yang sangat padat, di bagian tenggara terdapat pengelompokan rumah yang jarang dan bagian tengah trdapat pengelompokan rumah sangat jarang? Dalam menjawap pertanyaan ”mengapa” seorang peneliti dituntut mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai topik kajian. Hal ini lah yang mendasari alasan mengapa seorang peneliti dituntut untuk mengkaji berbagai sumber bacaan (kajian pustaka dan mengulasnya) untuk memperoleh keluasan pandangan dan kemendalaman pandangan mengenai topik kajian. Dari berbagai sumber bacaan tersebut peneliti dapat menemukan berbagai variabel yang diperkirakan berpengaruh terhadap terjadinya kekhasan sebaran tersebut. Variabel tersebut akan dijadikan dasar perumusan hipotesisi penelitian atau pertanyaan peneliti untuk menjawab pertanyaan WHY tersebut. Di sinilah analisis keruangan dilaksanakan dalam rangka memperoleh jawaban mengapa terjadi kekhasan sebaran gejala seperti itu.
Kata tanya WHO (siapa) dalam penelitian geografi bertanya tentang subjek yang berperan dalam hal terjadinya gejala di permukaan bumi. Dalam memaknai mengenai subjek yang berperan ini, peneliti harus selalu ingat bahwa yang dimaksud adalah manusia sebagai agents of change. Contoh yang dikemukakan di atas (gambar 3.3) akan menagjukan pertanyaan –pertanyaan tentang subjek ini antara lain (1) siapa yang menghuni rumah-rumah tersebut?, (2) apa pekerjaan/kegiatanya?, (3) berapa besar penghasilannya?, (4) bagimana pendidikanya, (5) bagaimana mobilitasnya?, (6) bagaimana persepsi terhadap lingkungan (7) upaya apa yang dikerjakan untuk konservasi lahannya?, (8) akibat apa yang dirasakan manusia akibat kerusakan lingkungannya dan lain sebagainya berkenaan dengan kegiatan manusia yang tinggal di daerah penelitian. Pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan kata tanya WHO tidak harus dimulai dengan kata tanya siapa namun hanya memberikan petunjuk bahwa jawaban yang dicari berkenaan dengan manusia sebagai agen peubah lingkungan. Proses perubahan lingkungan mana dapat bersifat positif maupun negatif, sehingga pertanyaan yang diajukan harus sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dicapai. Sesuai dengan sifat studi geografi yang human oriented maka perlu ditegaskan bahwa pertanyaan WHO terkait dengan manusia yang tinggal di daerah penelitian dan hal ini dapat merupakan sosok individual, sebuah komunitas atau lembaga.
Sementara itu dalam upaya menjawab pertanyaan HOW (bagaimana), peneliti menekankan pada pemahaman mengenai interaksi variabel-variabel yang secara teoritis telah diperolehnya setelah melakukan telaah pustaka. Bagaimana keterkaitan antar elemen lingkungan tesebut terjalin sehingga menimbulkan permasalahan penelitian yang dibahas? Mengacu pada contoh yang dikemukakan pada bagian depan yaitu peneliti mengenai proses formatif permukiman liar, maka pertanyaan HOW (bagaimana) dapat dirumuskan antara lain sebaggai berikut: ”basgaimana proses terjadinya permukinan itu? Bagaimana sebaran permukiman liar? Bagaimana dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh permukiman liar? Bagaimana karakteristik permukiman liar? Untuk menjawab beberapa pertanyaan substansial tersebut peneliti harus memahami keterkaitan antar variabel yang sudah diperolehnya dari membaca berbagai sumber/karya ilmiah baik berupa buku teks, jurnal ilmiah, laporan penelitian, karya ilmiah yang berjudul skripsi, tesisi atau disertasi. Keterkaitan antara variabel mana kemudian harus dikemas sedemikian rupa sehingga tercermin keterkaitan antara variabel yang bermuara pada jawaban bagaimana proses terjadinya permukiman liar, jawaban terhadap terciptanya kekhasan sebarannya, jawaban terhadap lingkungannya, jawabanterhadap karakteristik permukiman liar itu sendiri. Mahasiswa lebih mengenalbagian seperti ini sebagai kerangka teori (theoretical framework) dan hal ini akan dibahas pada bagian lain secara khusus.
Analisis Struktur Keruangan
Sebelum mengerjhakan analisis struktur keruangan, peneliti harus memehami terlebih dahulumengenai makna istilah struktur. Istilah struktur berasal dari kata bahasa inggris struktrure yang berarti susunan. Oleh karena sebuah ruang adalah wahana/ wadah gejala geosfer maka di dalamnya terdapat berbagai macam gejalabaik gejala fisikal maupun gejkala non-fisikal. Demikian pula halnya dengan upaya menganalisi ruang atas dasar strukturnya, peneliti dapat mengungkapakan struktur gejala fisikal, maupun gejala non-fisikal maupun gabungan keduanya. Kalau dalam membahas mengenai pola keruangan, peneliti lebih menekankanpada keterkaitan antara posisi individual gejala dengan perletakannya/lokasi gejala dalam ruang(kekhasan seatran gejala) maka dalam membahas struktur ruangan yang menjadi tekanan adalah kekhasan skomposisi gejala yang ada dalam ruang.
Untuk memehami hal ini, berikut akan dikemukanan sebuah contoh analisis struktur keruangan atas dasar komposisi gejala fisikal yaitu bentuk pemanfaatan lahan. Kenyatanan menunjukkan bahwa bentuk pemanfaatan lahan sangat banyak macamnya antara lain permukiman, tegal, perkarangan, persawahan, pertokoan, industri, perumahan, perdagangan, perkantoran, jasa, jalan, kebun campuran, dan masih banyak lainnya untukdisebut. Dalam contoh berikut hal tersebut akan disederhanakan sedemikan juga menjadi dua bentuk saja, yaitu bentuk pemanfaatan lahan agaris dan bentuk pemanfaatan lahan naon agraris sehinggga memudahkan untuk memahaminya. Analisis struktur keruangan akan dilaksanakn di suatu kota sampai dengan daerah pedesaaannya. Dalam penelitian ini diambil 4 sampel ruang yang dianggap mewakili populasi dengan karakter gradasi komposisi bentuk pemanfaaatan lahannya yaitu: 1) bagian dalam kota, 2) bagian pinggiran kota, 3) bagian kedesaan (Gambar 3.10)
A
|
C B2 B1
Gambar 3.10. Sebaran Sampel Area di Suatu Kota Hipotetis dan Wilayah di Sekitarnya
Area A : mewakili bagian dalam kota (urban area)
Area B1 : mewakili bagian pinggiran kota dekat dengan kota (di daerah urban fringe)
Area B2 : mewakili bagian pingggiran kota jauh dari kota( di daerah urban fringe)
Area C : mewakili daerah kedesaan ( rural area)
Apabila masing-masing bagian wilayah yang diambil sebagai sampel maka dapat digambarkan atas dasar komposisi bentuk pemanfaatan lahannnya sebagai berikut. Pada tarif ini peneliti mulaimenapaki tahapan awal dari suatu analisi keruangan, yaitu mengabstraksikan gejala yang diamati, apakah akan digambarkan dalam simbol titik, garis atau areal. Ambil sebagai contoh bahwa peneliti akan menggunakan simbol areal, maka tampilannya dapat dilihat dalam gambar berikut. Komposisi bentuk pemanfaatan lahan mana merupakan ekspersi struktur kerungan yang tergambar dalam Gambar 3.11 (area sampel 1), 3.12 (area sampel 2), 3.13(area sampel 3), 3.14 (area sampel 4).
Lahan non pertanian
|
Lahan pertanian
|
Lahan non pertanian
|
Lahan pertanian
|
Lahan pertanian
|
Lahan nonpertanian
|
Gambar 3.12 kompisis pemanfaat lahan di B1(Urban fringe)
|
Gambar 3.11 kompisis pemanfaat lahan di A (Urban Area)
|
Gambar 3.14 kompisis pemanfaat lahan di C (Rural Area)
|
Gambar 3.13 kompisis pemanfaat lahan di B2 (Rural fringe)
|
Gambar diatas menunjukkan struktur keruangan yang berbeda –beda untuk masing-masing daerah sampel atas dasar komposisi bentuk pemanfaatan lainya. Gambar 3.11 mencerminkan daerah bagian dalam kota yang ditandai oleh 100% bentuk pemanfaatan lahan non agraris, gambar 3.12 mengungkapkan komposisi bentuk pemanfaatan lahan di daerah pinggirankota yang lokasinya dekat dengan daerah terbangun, sehingga bentuk pemanfaatan lahan nonagraris (bukan pertanian) masih mendominasi dan sementara itu bentuk pemanfaatan lahan pertanian dalam proporsi yang jauh lebih kecil. Gambar 3.13 juga masih mewakili daerah pinggiran kota yang lokasinya jauh dari lahan kekotaan terbangun sehingga ratio bentuk pemanfaatan lahan pertanian dan bentuk pemanfaatan lahan non pertanian berbeda dengan yang ditampilkan dalam gambar 3.12. dalam gambar 3.13 proporsi bentuk pemanfaatan lahan pertanian masih mendominasi komposisi keruanganya sedangkan bentuk pemanfaatan lahan non agraris sudah mulai merebak disana. Gambar 3.14 mencerminkan wilayah yang ditandai oleh 100% bentuk pemanfaatan lahan pertanian. Dalam tarf ini peneliti sudah berada dalam tahapan kedua yaitu menemukenali karakteristik ruang. Tahap ketiga adalah melakukan analisis mendalam dengan cara menjawab pertanyaan geografis terkait dengan kekhasan komposisi gejala dalam ruang tersebut dengan mengaitkan dengan pertanyaan 5W1H sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Perlu ditegaskan lagi bahwa gejala geosfera dapat pula merupakan gejala kemanusiaan (human phenomena) seperti pendidikan, mata pencaharian, kepadatan penduduk, penghasilan penduduk, penghasilan daerah, partai politik dan lain sebagainya. Pemilihan simbol yang tepat merupakan keahlian tersendiri yang dituntut untuk dimiliki oleh seorang peneliti wilayah, karena ketepatan pemilihan simbol dan peletakanya akan menentukan akurasi analisis yang dilakukan. Begitu pula sebaliknya, pemilihan simbol yang tidak pas akan mengakibatkan distorsi hasil dan menimbulkan penafsiran yang berbeda. Hal inilah yang kemudian banyak dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk memilih simbol tertentuyang dapat menimbulkan image tertentu yang dikehendaki untuk mencapai tujuan tertentu walau terkadang bertentangan dengan kondisi di lapangan. Peneliti wilayah dituntut mempunyai keahlian ilmu kartografi yang memadai agar mampu memvisualisasikan data lapangan secara akurat dan menginterpretasikan secara tepat.
3.3.3 Analisis Proses Keruangan
Pemahaman mengenai makna proses adalah suatu keharusan sebelum melakukan penelitian berkenaan dengan proses itu sendiri. Banyak penelti tidak memperhatikan hal ini, karena istilah ini sudah dianggap sangat jamak diketahui maksudnya sehingga peneliti merasa tidak perlu untuk membahasnya terlebih dulu secara etimologis. Untuk sebuah penelitian mengenai perubahan ruang ditinjau dari segi apapun, istilah ini merupakan keyword terkait dengan substansi ilmiah yang akan dibahas. Banyak mahasiswa yang terpengaruh dan tidak dapat menjawab dengan benar saat dalam ujian ditanya mengenai arti kata proses walaupun dalam judul secara eksplisit digunakan kata proses itu sendiri.
Mengacu pada The Webster’s Third New International Dictionary (1966) istilah proses didefinisikan sebagai berikut:
... a process can be defined as a progresively continuing operation or development marked by a series or gradual changes that succeed one aother, is relatively fixed way and lead toward a pratikular result or end ...
Menurut Oxford English Dictionary (1971) penjelasan mengenai proses dikemukakan sebagai berikut:
...a process may be defined as a continuous and regular succession or actions taking place or carried on in definite manner and leading to the accomplishment of some result;a continuous operation or series of operations...
Secara komprehensif definisi tersebut mengemukakan bahwa proses adalah perkembangan yang terjadi secara terus menerus dalam rentetan peristiwa atau suatu perubahan yang bersifat gradual dan berlangsung terus-menerus secara ajek menuju ke hasil akhir atau hasil tertentu. Oleh karena itu di dalamya terkandung makna perkembangan yang dapat diketahui dari rentetan kejadian, maka setiap analisis proses harus mempunyai dimensi kewaktuan. Paling tidak ada dua tonggak/periode waktu yang digunakan sebagai dasar analisis.
Prosedur ilmiah yang ditempuh untuk analisis proses kerungan sama dengan apa yang dikemukakan sebelumnya yang menekankan pada abstraksi fenomena dalam peta, identifikasi kekhasan proses dan menjawab pertanyaan geografis. Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas, berikut ini dikemukakan beberapa contoh, baik tampilan titik-titik, garis-garis maupun bidang-bidang. (3.15, 3.16, 3.17, 3.18. 3.19, 3.20). proses kerungan yang diperoleh dari tampilan pete-peta dari titik waktu tertentu (t1) dan titik lain (t2) akan memberikan informasi mengenai kekhasan proses yang terjadi. Dari segi kuantitas (perubahan jumlah individu, luasan daerah, arah perubahan kecenderungan geraka ruang) perubahan ruang dapat langsung diketahui. Sementara itu langkah utama untuk menjawab pertanyaan mengapa, bagaimana dan siapa belum dilaksanakan dan hal ini memerlukan data lapangan yang mendukung analisis.
Gambar 3.15 dan 3.16 mencontohkan tamppilan kenampakan titik-titik dari sebaran keruangan rumah-rumah disesuatu wilayah. Di sana terlihat bahwa ada 2 kenampakan sebaran yang berbeda, bagian utara mencerminkan sebaran mengelompok dengan 10 buah pada (t1) dan pada (t2) berubah menjadi 20 buah dan mengarah kebagian timur.
Gambar 3.16
|
Gambar 3.15
|
Sementara itu di bagian selatan terlihat sebaran yang relatif merata dengan 10 buah pada (t1) dan berubah menjadi 15 buah pada (t2). Ada penambahan 50% di bagian selatan, sementara itu di bagian utara dalam kurun waktu sama ada penambahan 100%. Penambahan di bagian selatan terjadi diantara rumah-rumah yang sudah ada (infilling development) sedangkan dibagian utara, penambahan rumah terjadi di luar kompleks yang ada (accretion development). Karakteristik yang berkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi dan kultural dapat diperoleh dari wawancara terhadap penghuni, catatan statistik, informasi tokoh masyarakat, informasi key-person yang yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan WHO.
Gambar 3.17 dan 3.18 mengemukakan contoh peta dengan simbol garis yang dalam hal ini sebuah sungai. Dari tampilan yang ada terdapat proses perubahan ruang selama kurun waktu t1 ke t2. Dibagian timur terlihat intensitas perkembangan cabang-cabang sungai yang sangat intensif dan sementara itu di bagian barat sungai terlihat intensitas perkembangan cabang-cabang sungai yang kecil.
Gambar 3.17
Sebaran cabang-cabang
Sungai pada t1
|
Gambar 3.18
Sebaran cabang-cabang
Sungai pada t2
|
Untuk menjawab rahasia di balik terjadinya perbedaan intensitas perkembangan antar bagian barat dan timur sungai.peneliti perlu mengaitkan dengan berbagai variabel yang diperkirakan berperanan di dalamnya. Mengapa terjadinya perbedaan tersebut dan bagaimana hal tersebut dapat terjadi?
Gambar 3.19 dan 3.20 mengemukakan contoh tampilan kenampakan bidang untuk analisis proses keruangan. Sebut sebagai contoh gambar tersebut menggambarkan tampilan kota X pada t1 dan t2. Selama kurun waktu t1 dan t2 terdapat perubahan ekspresi keruangan kota secara fisik di mana bagian timur menunjukan perkembangan yang sedemikian cepat dibandingkan dengan bagian-bagian lainya. Bagian utara, barat dan selatan menunjukan rate of growth yang lambat, walau pada bagian utara agak lebih cepat.
Gambar 3.20
Morfologi kota X pada t2
|
Gambar 3.19
Morfologi kota X pada t1
|
Mengapa terjadi variasi keruangan atas dasar perkembangan fisikal kota tersebut dan bagaimana hal tersebut dapat terjadi? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan inti yang harus dijawab peneliti dalam rangka mengungkapkan elemen-elemen lingkungan (biotic, abiotic sosial, cultural, economic, political, technological environmental elements) yang menjadi penyebab terjadinya variasi intensitas perkembangan fisikal kota X dan bagaimana proses tersebut terjadi. Dalam analisis peneliti dapat membuat deskripsi karakteristik proses dalam matrix berikut (tabel 3.2).
Tabel 3.2 Contoh Matrix Deskripsi Karakteristik Proses Spasial (t1-t2).
Fenomena
|
Luasan gejala
|
Kuantitas gejala
|
Kualitas gejala
| ||||||
1
|
X
|
-
|
-
|
-
|
X
|
-
|
-
|
-
|
X
|
2
|
-
|
X
|
-
|
X
|
-
|
-
|
-
|
-
|
X
|
3
|
-
|
-
|
X
|
-
|
-
|
X
|
X
|
-
|
-
|
n...
|
X
|
-
|
-
|
X
|
-
|
-
|
-
|
X
|
-
|
: menunjukan gejala meningkat
: menunjukan gejala stabil/stagnan
: menunjukan gejala menurun
Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya fenomena 2 yang merupakan rumah pada suatu satuan permukiman yang diamanati dari t1 samapai t2. Dari t1 sampai t2 ternyata luasan permukiman tidak megalami pertambahan (simbol ), namun jumlah rumah yang ada di dalam satuan permukiman yang diteliti menunjukan peningkatan yang disimbolkan (‘!) (misal dari 50 menjadi 100/100% peningkatan) dan sementara itu terdapat kenyataan bahwa kondisi perumahannya semakin kumuh yang disimbolkan dengan (‘’ !), sebagai akibat densifikasi yang tidak terkendali (gambar 3.15 dan 3.16).
Dalam analisis, peneliti dapat menambahkan kolom-kolom lain berkaitan dengan atribut gejala yang dianalisis sesuai dengan tujuan peneliti yang dilakukan. Mengapa luasan satuan permukimannya tidak mengalami pertambahan dan bagaimana terjadinya? Mengapa jumlah rumah mengalami pertambahan dan bagaimana terjadinya? Mengapa terdapat kualitas penurunan rumah (housing deterioration) dan bagaimana proses formatifnya? Jawaban-jwaban yang dibutuhkan hanya dapat dikemukakan atas dasar analisis yang mendalam mengenai variabel-variabel yang dianalisis.
3.3.4 Analisisi Interaksi Keruangan
Interaksi atau imbal daya adalah merupakan suatu proses saling memengarui antara dua hal. Oleh karena istilah interaksi dikaitkan dengan ruang maka proses saling memengarui juga antar ruang yang bersangkutan. Pada awalnya istilah interaksi keruangan (spatial interaction) ini diperkenalkan oleh Ullman (dalam Goodall, 1987) yang dikemukakan sebagai berikut:
...spatial interaction emphasizes the interdependence of area and implies the movement of commodities, good, people, information etc.between areas...
Definisi tersebut hanya menekankan adanya saling ketergantungan (interdependency) antara dua daerah sedangkan dalam kenyataanya bentuk hubungan antara daerah-daerah sangat bervariasi dalam hal intensitas hubungan yang terjalin. Dalam memahami konsep saling memengarui dapat dijelaskan dalam diagram berikut yang menggambarkan proses imbaldaya dan intensitas hubungan antara dua ruang yaitu A dan B yang disimbolkan A’’! B.
Tipe pertama: A memengarui B dan B memengarui A tetapi masing-masing tidak tergantung satu sama lain; sebagai contoh konkret dapat dikemukakan misalnya hubungan antara satu kecamatan dengan kecamatan tetangganya, di mana kedua kecamatan tersebut saling memengarui baik dari segi ekonomi, sosial, kultural dan administrasi; bentuk hubungan pertama ini disebut balance interaction yang bersifat kurang solid (less solid interaction) mengenai intensitas interaksinya.
Tipe kedua: A mempengarui B tetapi tidak tergantung pada B, tetapi B tergantung pada A atau sebaliknya; sebagai contoh adalah hubungan antara kabupaten X sebagai pemasok raw material industri di kabupaten Y, tetapi keberadaan kabupaten Y mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kabupaten X. Bentuk interaksi tipe kedua disebut imbalanced interaction yang bersifat lebih solid dari tipe pertama (semi solid interaction) mengenai intensitas hubunganya.
Tipe ketiga: A dan B saling tergantung. Jenis interaksi ketiga merupakan jenis imbaldaya antara dua ruang yang paling solid sifatnya (solid interaction). Sebagai contoh adalah hubungan antara daerah kedesaan dan daerah kekeotaan sebagai perwujudan geografis yang mempunyai karakteristik sosial, kultural dan ekonomi yang berbeda. Perlu diperhatikan bahwa istilah desa atau kota dalam hal ini tidak mengacu pada kota tertentu atau desa tertentu. Daerah kedesaan diartikan sebagai darah yang ditempati oleh penduduk yang menggantungkan hidupnya pada usaha pertanian dan daerah kekeotaan diartikan sebagai daerah yang ditempati oleh penduduk yang menggantungkan hidupnya pada kegiatan non-pertanian. Kedua daerah tersebut jelas akan saling tergantung, karena penduduk daerah kedesaan tidak hanya membutuhkan hasil pertanian semata (untuk makan saja) namun juga membutuhkan barang-barang yang dproduksi oleh industri-industri/pabrik-pabrik yang ada di kota, seperti pakaian, alat rumah tangga, kendaraan, televisi dan lain sebagainya. Demikian pula halnya dengan peduduk kota yang tidak dapat memenuhi kebutuhan makannya dari barang-barang yang dihasilkan di kota, tetapi harus mendatangkan hasil pertanian dari desa untuk memenuhi kebutuhan makannya. Interksi keruangan yang tercipta antara daerah kedesaan dan daerah kekotaan bersifat saling tergantung (interdependency).
Untuk menuju analisis interaksi keruangan, berikut ini dikemukakan beberapa contoh yang mencerminkan berbagai bentuk proses imbaldaya antara daerah kedesaan dan kekotaan (tabel 3.3 dan 3.4) tabel 3.3 disebut sebagai urban-based stimuli interaction dan tabel 3.4 disebut sebagai rural-based stimuli intercation.
Tabel 3.3 Interaksi Kota-Desa yang Stimulansnya berasal dari Kota (Urban-Based Stimuli Interaction).
Daerah kekotaan
|
Aktualisasi interaksi
|
Daerah kedesaan
|
Permintaan hasil pertanian
|
Aliran hasil pertanian ke kota
|
Produk pertanian
|
Permintaan tenaga kerja
|
Migrasi ulang alik
|
Ketersediaan tenaga kerja kasar
|
Permintaan bahan bangunan (bata, genteng, pasir, batu dan lain-lain)
|
Aliran bahan bangunan tersebut ke kota
|
Menyediakan bahan bangunan
|
Tabel 3.3 memberikan contoh keruangan yang terjadi antara daerah kekotaan dengan kedesaan yang stimulansnya berasal dari daerah kekotaan. Adanya permintaan hasil pertanian di kota seperti beras, buah-buahan, sayuran, bunga-bungaan, daging ikan dan lain sejenisnya mengakibatkan terciptanya respons untuk mengadakan barang-barang tersebut di daerah kedesaan. Di kota barang-barang tersebut tidak dapat diadakan karena orentasi ekonomi utamanya adalah non pertanian sehingga tercipta aliran produk pertanian dari daerah kedesaan ke daerah kekotaan. Demikian pula dengan permintaan tenaga kerja tertentu (pada umumnya tenaga kerja kasar, seperti buruh bangunan, tukang becak dan lain sebagainya) yang tidak dapat dipenuhi oleh penduduk kota sendiri, akan dipenuhi oleh penduduk kedesaan yang memanfaatkan waktu luang di sektor pertanian dan pergi kekota untuk bekerja, sehingga terjadilah migrasi ulang alik (commuting) yang merupakan aktualisasi dari bentuk interaksi keruangan antara desa dengan kota. Contoh lain adalah adanya kebutuhan daerah kekotaan akan bahan bangunan tertentu seperrti pasir, kerikil, batu kali, batu bata, genteng, kayu, bambu selalu didatangkan dari daerah kedesaan yang merupakan bentuk urban-based stimuli interaction.
Di sisi lain terdapat interaksi kota-desa yang stimulansnya berasal dari daerah kedesaan ( rural-based stimuli interaction). Penduduk kedesaan dapat memenuhi kebutuhan makan minumnya dari daerahnya sendiri, namun kebutuhan manusia tidak hanya cukup memenhui kebutuhan akan makan dan minum, tetapi juga membutuhkan barang-barang lain untuk menyelenggarakan kehidupanya dengan baik. Demikian pila halnya dengan penduduk kedesaan, juga membutuhkan produk non pertanian seperti pakaian, alat rumah tangga, radio, televisi, kendaraan dan peralatan lainnya yang hanya diproduksi di daerah kekotaan dan terciptalah interaksi antara kota desa yang dipicu oleh kebutuhan daerah kedesaan dan aktualisasinya berupa peraliran barang-barang produksi pabrik dari kota ke desa (tabel 3.4).
Tabel 3.4 Interaksi Kota-Desa yang Stimulansnya berasal dari desa(Rural-Based Stimuli Interaction).
Daerah kedesaan
|
Aktualisasi interaksi
|
Daerah kekotaan
|
Permintaan hasil non-pertanian
|
Aliran hasil non-pertanian ke desa
|
Produk non-pertanian
|
Permintaan tenaga ahli
|
Masukan pengetahuan ke desa
|
Ketersediaan tenaga ahli
|
Permintaan pendidikan jasa paramedik dan lain-lain
|
Aliran pelajar ke kota, pasien ke rumah sakit di kota
|
Menyediakan fasilitas pendidikan dan kesehatan
|
Permintaan akan tenaga ahli tertentu yang mampu memberikan niali tambah produk yang dihasilkan masyarakat kedesaaan semakin meningkat. Hal ini dirasakan memberikan dampak yang luar biasa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat kedesaan. Sebagai contoh yang nyata adalah di daerah kedesaan Kasongan yang terletak kuarng lebih 4 km disebelah selatan kota Yogyakarta. Daerah ini pada awalnya merupakan daerah kedesaan yang tergolong miskin, dan penduduknya mempunyai pekerjaan sambilan membuat peralatan rumah tangga dari tanah liat (gerabah) seperti kuali (periuk), anglo (tungku), celengan (bejana untuk menyimpan uang/menanbung) dan lain sejenisnya. Pada 70-an penduduk menjajakan barang dagangannyay keluar masuk kampung dengan dipikul atau digendong dengan hasil tambah yang tidak signifikan bagi penghasil rumah tangga.
Beberapa waktu lalu terdapat upaya yang dikerjakan oleh para pakar untuk memberikan nilai tambah bagi produk tanah liat baik ditinjau dari segi estetika maupun kualitasnya dan hasilnya ternyata sangat luar biasa dan mampu mengubah secara drastis kinerja penduduk setempat dari keluarga-keluarga miskin dan keluarga-kelarga kaya. Kalau pada waktu lalu penduduk menjajakan barang dagangannya secara individual keluar masuk kampung dengan tenaga manusia, saat ini mereka telah melayani partai besar dengan jangkauan pemasaran sampai luar negeri. Barang-barang kerajinan gerabah dengan nilai estetika tinggi dan kualitas yang baik banyak menghiasi meja ressipsionis di hotel-hotel berbintang. Hal ini merupakan salah satu bentuk interaksi keruangan antara wilayah kedesaan dengan wilayah kekotaan yang aktualisasinya terlihat pada input pengetahuan pada masyarakat kedesaan dari para pakar dari daerah kekotaan yang keahlianya diperoleh melalui institusi pendidikan tinggi di kota.
Kuarangnya fasilitas sosial, ekonomi di daerah kedesaan mengakibatkan aliran penduduk kedesaan pergi ke kota baik sementara maupun menetap untuk memperoleh pelayanan tertentu. Banyak pelajar/mahasiswa dari daerah kedesaan pergi ke kota untuk belajar dan begitu pula halnya banyak pasien dari daerah kedesaan pergi ke rumah sakit di kota untuk berobat. Peneybab utamanya adalah kurangnya fasilitas di daerah kedesaan dan sementara itu di daerah kekokotaan fasilitas yang dibutuhkan telah tersedia. Selain beberapa contoh tersebut, masih banyak contoh lain mengenai bentuk interaksi keruangan untuk diungkapkan.
Analisis geografi selalu memusatkan pertanyaan pada 5W1H keterkaitan dengan fenomena yang diteliti. Interaksi antara ruang satu dengan ruang yang lain mengenai hal apa, mengapa terjadi interaksi seperti itu, bagaimana hal itu dapt terjadi, siapa yang berperan di dalamnya (semua pertanyaan terkait dengan subjek), dimana hal tersebut berada, kapan terjadinya?
3.3.5 Ananlisis Organisasi Keruangan
Penekanan pembahasan pada analisis organisasi keruangan adalah pada karakteristik tatanan sebaran elemen pembentuk ruang, baik point features, line feantures maupun areal features. Beberapa peneliti mengunakan istilah analisis sistem keruangan (spatial system analysis). Keterkaitan antara elemen-elemen lingkungan dengan tatanan spesifik gejala geosfer merupakan substansi yang digunakan untuk menjawab pertanyaan geografis yang telah diajukan. Tahapan awal analisis adalah ,mengenali karakteristik tatanan spesifik atau ada tidaknya organisasi keruangan yang tercipta dari tampilan sebaran kenampakan individual gejala geosfer yang akan diteliti. Sampai tahap ini mungkin, orang masih bertanya mengenai perbedaanya dengan spatial pattern analysis. Sebenarnya, pada analisis organisasi keruangan juga diawali dengan identifikasi kekhasan pola sebaran gejala, namun pertanyaan utamanya adalah keterkaitan antara kenampakan satu dengan lainnya, sehingga banyak peneliti memberikan istilah analisis hierarki (tata jenjang).pada analisis pola penekanan pada kekhasan aglomerasi,sedangkan pada analisis organisasi keruangan penekanan terletak pada keterkaitan antara gejala yang ada dalam bentuk aksial ( A mempengarui B tetapi B tidak mempengarui A), interaksi (A dan B saling mempengarui), dependensi (A tergantung pada B, tetapi B tidak tergantung pada A) atau dependensial (A dan B saling tergantung).
Untuk memperoleh kejelasan yang lebih baik, berikut ini dikemukakan beberapa gambar tampilan kenampakan titik, garis dan areal (3.21, 3.22, 3.23, 3.24, 3.25). apabila dibandingkan antara gambar 3.21, 3.22 dan gambar 3.23 seseorang akan dapat mengidentifikasi pada tahap awal bahwa gambar 3.21 (a) tidak menunjukan adanya organisasi keruangan yang spesifik, karena tampilan gejala geosfera yang disimbolkan sebagai titik-titik tidak menunjukkan secara jelas tata jenjang pengaruh antara satu titik dengan titik yang lain, karena kedudukanya sejajar (non hierarchic point set), kecuali kalau kedudukannya tidak sejajar 3.21 (b). Simbolisasi memegang peranan penting dalam mengenali kekhasan tata jenjang pengaruh kenampakan satu dengan yang lain. Pengaruh satu titik dengan yang lain jelas ada namun tidak tercermin dalam tata jenjang.
Gambar 3.21 Sebaran Titik-Titik Tak Berhierarki
Gambar 3.22 Sebaran Titik-Titik Berhierarki (Branching Hierachy)
Gambar 3.23 Sebaran Titik-Titik Berhierarki (Direct Control Hierachy)
Pada gambar 3.22 dan 3.23 jelas tampak adanya tata jenjang pengaruh yang sangat antara kenampakan yang ditampilkan, dalam hal ini antara titik satu dengan yang lain tidak sama kekuatan pengaruhnya. Titik-titik satu sangat tergantung pada titik-titk 2 dan titik-titk 2 sangat tergantung pada titik-titik 3 dan seterusnya. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa terdapat organisasi kerungan dalam wilayah tersebut, namun pada taraf ini belum sampai tataran analisis. Tahapan analisis adalah menjawab pertanyaan WHY,WHO, dan HOW sebgaimana telah dijelaskan pada bagian depan. Demikian pula halnya gambar 3.24 (sebaran sungai dengan cabang-cabangnya), 3.25 (sebaran jalan dengan cabang-cabangnya) dan 3.26 (sebaran area dengan subarea pengaruh).
Gambar 3.24 Sebaran Garis-Garis Berhierarki
(Sebaran Orde Sungai)
Gambar 3.24 Sebaran Garis-Garis Berhierarki
(Sebaran Kelas Jalan)
Gambar 2.6 Sebaran area dengansub-area pengaruh
3.3.6 Analisis Asosiasi Keruangan
Tujuan utama dari analisis asosiasi keruangan adalah untuk mengetahui apakah sebaran gejala tertentu berkolerasi dengan sebaran gejala yang lain. Korelasi keruangan yang akan diungkapkan dapat bertitik tolak dari pola kerunagan, struktur keruangan, proses keruangan, interaksi kerungan dan lain sebagainya. Pertanyaan utama terkait dengan ada tidaknya korelasi keruangan antara geosfer, adalah apakah antara gejala X dan Y diperkirakan ada asosiasi/korelasi kerungan dan seperti apa ekspresi keruangannya? Kalau ada, maka mengapa terjadi asosiasi keruangan seperti itu dan bagaimana proses terjadinya asosiasi keruangan tersebut? Pertanyaan WHAT, WHERE dan WHEN merupakan pertanyaan yang menghasilkan jawaban deskriptif melatarbelakangi gejala yang ada. Sementara itu pertanyaan who menurut jawaban terkait dengan nkegiatan manusia. Elaborasi masing-masing jenis pertanyaan khususnya pertanyaan WHY, WHO dan HOW akan menentukan kemendalaman analisis yang dilakukan peneliti.
Berikut ini diberikan sebuah contoh asosiasi kerungan antara sebaran rumah-rumah pada suatu wilayah yang bertopografi berbukit-bukit dan sebaran mata air. Membuat sumur di wilayah tersebut sangat sulit dilaksanakan karena medannya tidak memungkinkan untuk itu dan penduduk menggantungkan pemenuhan kebutuhan akan air bersih dari adanya/keberadaan mata air (gambar 3.27).
O : sebaran rumah
* : sebaran mata air
Gambar 3.27 asosiasi keruangan sebaran rumah dan mata air
Sebaran rumah-rumah di daerah penelitian ternyata menunjukan asosiasi secara keruangan dengan keberadaan mata air yang ada.hal ini sangat wajar karena kebutuhan air adalah kebutuhan pokok manusia, sehingga ada kecenderungan bahwa penduduk bertempat tinggal di tempat-tempat di mana mudah mendapatkan air bersih. Mengenai korelasi antara sebaran mata air dengan rumah dengan sendirinya kan menunjukan variasi spasial yang besar dan hal inilah yang harus dijawab seorang peneliti. Mengapa pada bagian utara terdapat aglomerasi rumah yang jauh lebih banyak jumlahnya, padahal jumlah mata airnya sedikit dan sementara itu dibagian selatan terdapat aglomerasi rumah yang sedikit walaupun jumlah mata airnya banyak. Bagaimana karakteristik mata air tersebut mengenai debet airnya, lokasinya, kualitas airnya, mudah dijangkau atau tidak (aksesibilitas) dan sebagainya yang dapat memberikan jawaban mengenai asosiasi kerungan dengan sebaran rumah. Besarnya korelasi antara gejala dapat dihitung dengan teknik-teknik statistik korelasi.
3.3.7 Analisis Komparasi Keruangan
Oleh karena yang menjadi tekanan analisis adalah komparasi/pembandingan antara wilayah satu dengan wilayah yang lain, maka minimal ada dua wilayah yang diteliti. Tujuan praktis yang banyak dilakukan adalah upaya mengetahui keunggulan dan kelemahan yang ada pada masing-masing wilayah dalam hal yang sama sehingga dapat diketahui upaya untuk menentukan kebijakan pengembangan wilayah lebih lanjut. Banyak sedikitnya elemen wilayah yang diteliti sangat tergantung pada objek kajian. Sebagai contoh apabila ada studi banding terkait dengan pengembangan industri kulit antara daerah industri kulit yang tidak berkembang dengan daerah industri kulit yang berkembang maka elemen-elemen yang terkait dengan faktor-faktor produksi suatu industri menjadi elemen utama yang harus dibahas.
Untuk membandingkan kemajuan daerah satu dengan daerah yang lain dengan sendirinya akan membutuhkan elemen-elemen wilayah yang lebih kompleks untuk dikemukakan. Hal ini karena perkembangan wilayah meliputi seluruh aspek kehidupan yang ada. Sebagai contoh mengenai latarbelakang mengapa daerah tertentu mampu meningkatkan kesejahtraan penduduknya dalam waktu relatif singkat sedangkan daerah lain tidak, walaupun latar belakang fisiografinya tidak banyak berbeda. Dengan mempelajari kelebihan-kelebihan dan kekurangan masing-masing wilayah dalam tata kelola wilayah maka akan dapt diketahui kunci keberhasilan pembangunannya dan hal ini dapat dimanfaatkan oleh wilayah lain untuk memperbaiki kinerjanya. Para penentu dan pembuatan kebijakan dalam hal pengembangan wilayah sangat dianjurkan untuk melakukan studi banding ke wilayah lain dengan maksud untuk mampu mengambil pelajaran mengenai sektor-sektor tertentu yang telah berkembang dengan baik dan kemudian menerapkannya di wilayahnya. Namun sangat disayangkan bahwa banyak kasus studi banding tidak dilakukan secara serius dan bahkan banyak studi banding, khususnya studi banding keluar negeri hanya digunakan sebagai kedok untuk berwisata bersama keluarga padahal sudah mengunakan uang rakyat. Suatu penghianatan yang luar biasa terhadap amanat rakyat yang sudah disampirkan dipundaknya dan mestinya tidak dilakukan oleh pejabat. Mestinya suatu studi banding harus disertai oleh akademis yang mempunyai tingkat kepakaran tinggi dibidangnya sehingga ketajaman pengamatan tentang hal yang diteliti dapat dikemukakan dan disamping itu studi banding harus disertai oleh laporan ilmiah sebagai bentuk public accountability yang berwujud sebagai suatu laporan ilmiah.
3.3.8 Analisis Kecenderungan Spasial
Analisis kecenderungan spasial berusaha untuk menjawab: (1) pertanyaan ke arah mana (orentasi spasial) suatu perubahan ruang terjadi dan (2) apakah perubahan ruang yang terjadi menimbulkan kecenderungan memunculkan dampak negatif atau positif. Analisis kecenderungan spasial ( spatial tendency analysis) sebenarnya merupakan kelanjutan dari analisis proses kerungan yang dapat mendasarkan pada pola, struktur, asosiasi atau interaksi yang telah dijelaskan sebelumnya. Analisis kecenderungan spasial mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengembangan wilayah, karena orentasi analisisnya diarahkan untuk mampu menjangkau periode waktu yang akan datang. Analisis kcenderungan spasial banyak dilakukan oleh mahasiswa program doktor untuk memberi bobot disertasinya karena di dalamnya mengandung kemampuan prognotasi yang banyak dituntut.
Untuk memperjelas analisis kecenderungan/tendensi spasial berikut ini dikemukakan sebuah contoh analisis perembetan kenampakan fisikal kekotaan (urban sprawl). Oleh karena analisis tendensi keruangan selalu terkait dengan perubahan ruang maka dimensi kewaktuan (temporal domension) menjadi dasar identifikasi perubahan yang terjadi. Oleh karena analisis tendensi kecenderungan membutuhkan akurasi yang tinggi mengenai fenomena yang terjadi maka makin banyak titik waktu yang digunakan sebagai dasar analisis akan makin akurat hasil yang diperoleh. Interval waktu yang dipilih hendaknya juga didasarkan pada periode yang ajek misalnya tahunan, periode 5 tahunan, dekade dan lain sebagainya. Penentuan waktu interval yang tidak ajek dapat menimbulkan kekeliruan interpretasi kecenderungan. Sebagai contoh apabila seseorang akan mengetahui kecenderungan spasial perkembangan kota pada kurun waktu 25 tahun ke depan, dan kemudian mendasarkan analisisnya pada interval waktu yang tidak ajek maka hasilnya akan berbeda dengan apabila interval waktu yang digunakan ajek. Misalnya data tahun 1970, 1985, 1990, 1995, 2000 (gambar 3.28). keajekan interval dapat mengungkapkan pola perubahan keruangan lebih baik, namun dalam hal tertentu apabila peneliti terpaksa menggunakan data seperti dalam contoh pertama tetap masih dapat dimanfaatkan. Hal ini sangat terkait dengan data lapangan yang terkadang sangat sulit diperoleh. Tidak semuah wilayah memiliki sistem pencatatan data yang baik, lengkap dan tidak semua wilayah memiliki citra pengindraan jauh yang dibutuhkan.
Dalam gambar 3.28 tampak tampilan morfologi kota X tahun 1970, 1975, 1980, 1985, 1990, 1995 dan 2000. Tampilan kerungan yang digambarkan menunjukan perbedaan interaksi proses perembetan kenampakan kekotaan yang terjadi antara 1970 sampai 2000. Bagian barat menunjukan intensitas pekembangan paling lambat dibandingkan dengan bagian yang lain.
Gambar 3.28 Urban Sprawl Kota X 1970-2000
Sementara itu bagian timur laut menunjukan intensitas yang paling tinggi diikuti oleh bagian utara dan selatan. Dalam analisis kecenderungan spasial hal tersebut merupakan awal untuk menguak apa yang bakal terjadi di masa yang akan datang, katakanlah 25 tahun kedepan berdasarkan proses perkembangan morfologi kekotaan selama 30 tahun terakhir apabila variabel yang berpengaruh selama kurun waktu tersebut tidak mengalami perubahan yang berarti.
Oleh karena jarak dari kenampakan morfologi awal (1970) kekenampakan morfologi pada 2000 dapat diukur, maka dapat diketahui kecepatan perubahan kenampakan fisikal morfologi selama 30 tahun dan tendensi perkembangannya ke depan yang rinciannya antara lain (1) kecepatan penambahan lahan kekotaan terbangun (urban built-up areas), (2) kecepatan penambahan permukiman, (3) kecepatan pengurangan lahan pertanian, (4) kecepatan proses densifikasi bangunan, (5) kecepatan densifikasi penduduk. Dari data empiris/kenyataan yang diperoleh dilapangan peneliti dapat melakukan prediksi ke depan mengenai apa yang bakal terjadi berdasarkan rate of growthnya sehingga beberapa kebijakan spasial, ekonomi, lingkungan dapat dirumuskan sebagai wujud antisipasi pembuat dan penentu kebijakan dalam mengelola perkembangan wilayah. Untuk mempermudah memahami, berikut dikemukakan contoh data berkenaan proses perkembangan morfologi kota X (tabel 3.5).
Tabel 3.5 Deskripsi Urban Sprawl Kota X 1970-2000
Kasus Sampel Area A
Tahun
|
Permukiman (ha)
|
Persawahan (ha)
|
Pertegalan (ha)
|
Penduduk (x 1000)
|
1970
|
100
|
150
|
50
|
10
|
1975
|
105
|
145
|
50
|
12
|
1980
|
110
|
142
|
48
|
15
|
1985
|
120
|
135
|
45
|
16
|
1990
|
126
|
130
|
44
|
18
|
1995
|
134
|
122
|
44
|
19
|
2000
|
150
|
112
|
38
|
20
|
Perubahan antara 1970-2000
|
+ 50 (50%)
|
- 38 (25,33%)
|
- 12 (24%)
|
+10 (100%)
|
Dari tabel tersebut peneliti dapat mengetahui tendensi perubahan ruang yang diteliti ke masa depan. Akselerasi perubahan kenampakan fisikal morfologi kota pun dapat diketahui. Ambil sebagai contoh pada aksis A-B, A-C, A-D dan A-E. Kalau selama kurun waktu 30 tahun tercatat A-B =15 km, A-C= 10 km, A-D = 6 km dan A-E= 4km maka rate of physical growth dapat diketahui sehingga dampak negatif maupun positif terkait dengan keterkaitan sumber daya dapat dikemukakan hal ini juga merupakan bahan pertimbangan untuk pengelolahan kota, khususunya mengenai kecenderungan spasial (ispatial tendency) yang bakal terjadi pada daerah yang diteliti.
3.3.9 Analisis Sinergisme Keruangan
Istilah sinergisme pada awalnya digunakan dalam bidang kefarmasian yang kemudian makin luas adopsi istilah tersebut di bidang ilmu-ilmu lainya. Istilah sinergisme bukan hanya melibatkan penggabungan dua hal atau lebih namun ada pengertian lain yang terkandung di dalamnya. Dalam makna sinergisme yang utama adalah munculnya nilai kegunaan/keuntungan dari proses bekerja samanya dua hal atau lebih tersebut yang lebih banyak/lebih baik dibandingkan apabila masing-masing hal tersebut bekerja sendiri-sendiri. Sebagai contoh adalah apabila ada obat O1 dapat menyembuhkan penyakit P namun efektif dalam waktu lama dengan efek samping ES1 dan obat O2 juga dapat menyembuhkan penyakit P lebih cepat, tetapi punya efek samping ES2 efek samping ES1 maupun ES2 tidak disukai. Namun, apabila obat O1 dan O2 digabungkan ternyata dapat meminimalisir efek samping dan kesembuhan yang jauh lebih cepat dan contoh ini adalah sebuah sinergisme. Hal ini atau ide ini telah mengilhami banyak peneliti atau pakar geografi untuk menerapkan dalam bidang pengembangan wilayah. Namun, sangat disayangkan bahwa belum ada suatu konsep yang mantap mengenai hal tersebut sehingga penulis mencoba untuk memberi kejelasan sehingga ke masa depan hal ini dapat digunakan sebagai acuan penerapannya.
Saat ini telah banyak muncul ide-ide mengenai penggabungan antara beberapa ruang atau wilayah yang bertujuan untuk mencapai suatu nilai lebih dalam sektor tertentu dari upaya penggabungan tersebut. Hal ini sebenarnya merupakan ide sinergisme keruangan namun kebanyakan ide tersebut masih berada dalam tahap konsep atau baru merupakan wacana semata dan belum ada tindakan nyata untuk menindak lanjuti sehingga ide sinergismenya dapat diwujudkan sepenuhnya. Lihat lontaran ide mengenai joglo semar (jogja, solo, semarang), dulang mas (kedu, magelang, banyumas), jabodetabekjur (jakarta, bogor, depok, tangerang, bekasi, cianjur), sijori (singapore, johor, riau), karto mantul (yogyakarta, sleman, bantul), pawon sari (pacitan, wonogiri, wonosari) dan masih banyak yang dapat digunakan sebagai contoh. Kebanyakan ide penggabungan tersebut belum sepenuhnya ditindaklanjuti secara sistematik dan tersetruktur dalam koridor sinergisme yang seimbang proporsional dan mampu mendatangkan nilai tambah (added value) yang jauh lebih tinggi bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya dibandingkan dengan kinerja mereka sendiri-sendiri.
Untuk mewujudkan ide sinergisme harus ada perumusan visi dan misi yang kemudian dituangkan dalam sebuah kesepakatan regional. Kompetensi utama geografi pada milenium ketiga ini adalah (1) perumusan konsep sinergisme keruangan, (2) koordinasi implementasi sinergisme keruangan, (3) monitoring kinerja sinergisme keruangan, (4) evaluasi kinerja sinergisme keruangan.
Perumusan sinergisme keruangan adalah usaha untuk menemukenali wilayah-wilayah mana dan sektor-sektor apa layak untuk melakukan kerja sama regional dalam rangka memperoleh kinerja pembangunan wilayah yang lebih baik dibandingkan dengan apabila mereka bekerja sendiri-sendiri. Oleh karena dalam hal ini melibatkan berbagai daerah masing-masing daerah harus dikaji sedemikian rupa mengenai potensi wilayah/sumber daya abiotik, biotik, sosial, kultural, teknologi dan ekonomi masing-masing baik keunggulan-keunggulannya maupun kelemahan-kelemahannya sehingga kekurangan yang ada dapat ditutup oleh keunggulan yang ada di pihak lain. Bentuk kajian yang disebut sebagai potential oriented integrated survey dapat diterapkan yang kemudian diikuti dengan apa yang disebut sebagai program oriented integrated survey (yunus, 1991).
Pengertian wilayah dalam hal ini tidak harus merupakan daerah administrasi, namun dapat merupakan wilayah fisiografis, wilayah kultural, wilayah ekonomi maupun wilayah sosial. Oleh karena kerja sama wilayah melibatkan koordinasi administrasi, pada umumnya batas-batas administrasi selalu menjadi tumpuannya karena pertimbangan kemudahan dalam pengelolahan sisitem kerja sama yang dibentuk dan ketersediaan data yang diperlukan dan yang tersebut terakhir ini selalu mendasarkan batas administrasi.perumusan konsep sinergisme keruangan yang dibentuk dapat merupakan kerja sama regional dalam satu sektor saja atau beberapa sektor dan hal ini tergantung kesepakatan dengan mitra wilayah yang terlibat.sebagai contoh mengenai kerja sama di bidang pariwisata antara wilayah A dan B. Wilayah A mempunyai potensi wisata yang belum dikembangkan namun mempunyai sumberdaya S melimpah, sedangkan wilayah B merupakan wilayah yang sudah berhasil mengembangkan pariwisatanya namun sangat kekurangan akan sumber daya S maka perjanjian bilateral antara wilayah A dan B dapat diciptakan untuk maksud memperoleh kinerja pembangunan wilayah yang jauh lebih baik. Sebelumnya, wilayah B selalu mendatangkan sumber daya S dari daerah lain dengan harga yang jauh lebih tinggi dan kerja sama tersebut wilayah B dapat memperolehnya dari wilayah A dengan harga yang lebih murah dan cepat.sementara itu wilayah A dapat memperoleh bantuan-bantuan tenaga ahli pariwisata maupun menjalin jaringan paket wisata dengan wilayah A yang sudah berkembang sehingga kunjungan wisata dapat ditingkatkan. Kedua wilayah akan memperoleh keuntungan yang jauh lebih banyak dalam hal pendapatan daerah dibandingkan dengan apabila mereka masing-masing tidak menjalin kerja sama. Bentuk keuntungan dengan sendirinya tidak harus selalu diartikan sebagai keuntungan finansial tetapi dapat berarti keuntungan sosial, keuntungan kultural dan lain sebagainya dan dalam dimensi waktu jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Koordinasi implementasi sinergisme keruangan adalah upaya untuk mengimplementasikan konsep sinergisme yang telah ditentukan dengan cara merumuskan hak dan kewajiban dari masing-masing willayah yang bekerja sama. Dalam koordinasi implementasi sinergisme keruangan tidak boleh tidak didalamnya tercipta apa yang dikenal dengan sinergisme fungsional (fungtional synergism). Sinergisme fungsional merupakan bentuk kerja sama antara berbagai sektor yang dapat berwujud sebagai intra functional synergism maupun inter functional synergism. inter functional synergism merupakan bentuk sinergisme antar sektor dalam masing-masing wilayah yang bekerja sama sedangkan inter fungtional synergism adalah bentuk kerja sama antarsektor antara wilayah satu dengan yang lain. Sebagai contoh dapat dikemukakan yaitu adanya kerja kerja sama antara sektor pariwisata, sektor perdagangan dan sektor transportasi dalam wilayah A yang dirumuskan sedemikian rupa untuk mencapai added value yang jauh lebih besar adalah contoh inter functional synergism, sedangkan kerja sama antara sektor pariwisata antara wilayah A, wilayah B dan wilayah c yang dikemas dalam satu paket wisata yang solid adalah bentuk inter functional synergism dan secara diagramatis dapat digambarkan dalam diagram berikut (gambar 3.29)
Gambar 3.29. Sinergisme Intra Dan Inter Spasial Dan Fungsional
Dalam gambar di atas terliahat bahwa kerja sama antara sektor 1, 2, 3, dan 4 di wilayah A dan kerja sama antara sektor 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 di wilayah B adalah bentuk intra functional synergism, sedangkan bentuk kerja sama antara sektor 2A dengan sektor 2B, sektor 3A dan sektor 3B, 5B dan sektor 6B, sektor 4A dengan sektor 4B adalah bentuk inter functional synergism yang tidak lain adalah bentuk spatial synergism itu sendiri.
Monitoring kinerja sinergisme keruangan merupakan hal yang sangat penting untuk dilaksanakan, karena bertujuan untuk mengetahui apakah keterkaitan fungsional maupun spatial dapat bekerja sebagaimana diharapkan. Stagnasi hubungan fungsional secara sektoral dan spatial akan mengakibatkan optimasi pencapaian added value tidak akan dapt terwujud. Oleh karena itu dalam intra functional synergism maupun inter functional synergism terdiri dari berbagai bentuk kerja sama maka perlu adanya team hanya mengamati kelancaran hubungan fungsional keterkaitan fungsional antarsektor baik intra maupun inter dan spasial.
Evaluasi kinerja sinergisme keruangan perlu dilakukan secara periodik dalam rangka mengetahui hasil kerja sama regional maupun sektoral dalam kurun waktu tertentu. Hal ini akan mendasari kebijakan selanjutnya apakah suatu konsep sinergisme spasial perlu dilanjutkan atau di hentikan. Konsep sinergisme kerungan merupakan konsep yang dinamis sejalan dengan sifat dinamika kehidupan itu sendiri. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan jumlah penduduk, perubahan kondisi sosial, kondisi ekonomi, kondisi kultural kondisi biofisikal dan kondisi politik merupakan terjadinya dinamika kehidupan penduduk dan wilayah sehingga sangat mungkin terjadi perubahan-perubahan konsep sinergisme spasial yang semula telah disepakati. Mempertahankan keberlanjutan kinerja sinergisme keruangan dapat terjadi dengan cara horizontal dan vertikal. Cara horizontal dapat dilaksanakan dengan dua cara pula yaitu dengan menambahkan wilayah yang terlibat ataupun mengurangi wilayah yang terlibat. Sebagai contoh penambahan wilayah yang terlibat misalnya konsep jabotabek dapat berubah menjadi jabodetabek dapat berubah lagi menjadi jabodetabekjur dan lain sebagainya. Kemungkinan lain walaupun kecil atau pengurangan wilayah yang terlibat dapat pula terjadi karena sebab-sebab tertentu misalnya kerja sama regional antar wilayah A, B, C, D, E kemudian berubah menjadi A, B, D dan E saja. Di dunia internasional hal ini banyk ditemui yang kebanyakan disebabkan oleh alasan-alasan politik, namun untuk konsep sinergisme spasial dalam wilayah satu negara pada umumnya justru bertambah. Cara vertikal dilaksanakan dengan meningkatkan atau mengurangi intensitas kegiatan (frekuensi atau volume kegiatan) yang dilaksanakan baik dalam tataran intra maupun inter sinergisme spasial. Dengan demikian jelaslah kiranya apa yang dimaksud dengan sinergisme keruangan. Diskusi mengenai pendekatan kewilayahan selanjutnya akan disajikan dalam bagian selanjutnya, yaitu mengenai pendekatan ekologis.
Sumber: Yunus. 2009. Metode Penelitian Wilayah Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sumber: Yunus. 2009. Metode Penelitian Wilayah Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kak,itu sumber pustakanya kok gak dicantumin kak? Emg pure nulis sendiri? Hhha
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusHe he he...lupa nyamtumin bu.Asal upload aja kemarin. Tugas kuliah. Nie sumbernya. Yunus. 2009. Metode penelitian wilayah kontemporer. Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Hapuslengkap sekali pembahasan mengenai pendekatan keruangan, tambah ilmu baru lagi buat saya mampir juga ya ke www.materi-sekolah.com
BalasHapustrimakasih banyak, sangat bermanfaat...
BalasHapus