PERIKANAN
Disusun untuk Memenuhi Mata Kuliah Geografi Sosial
Disusun Oleh:
1. Fitria Anggraeni 110721435111
2. Imam Arifaillah Syaiful Huda 110721435030
3. Indah Ashlachal Ummah 110721435114
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN POENDIDIKAN GEOGRAFI
FEBRUARI 2012
PERIKANAN
PERIKANAN
Perikanan adalah kegiatan manusia yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hayati perairan. Sumberdaya hayati perairan tidak dibatasi secara tegas dan pada umumnya mencakup ikan, amfibi dan berbagai avertebrata penghuni perairan dan wilayah yang berdekatan, serta lingkungannya. Di Indonesia, menurut UU RI no. 9/1985 dan UU RI no. 31/2004, kegiatan yang termasuk dalam perikanan dimulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Dengan demikian, perikanan dapat dianggap merupakan usaha agribisnis.
Umumnya, perikanan dimaksudkan untuk kepentingan penyediaan pangan bagi manusia. Selain itu, tujuan lain dari perikanan meliputi olahraga, rekreasi (pemancingan ikan), dan mungkin juga untuk tujuan membuat perhiasan atau mengambil minyak ikan.
- Sejarah Perikanan
Perikanan Indonesia pada 1400an-1600an: “Age of Commerce”
Salah satu sejarah perdagangan dunia yang tertua yaitu perdagangan ikan cod kering dari daerah Lofoten ke bagian selatan Eropa, Italia, Spanyol dan Portugal. Perdagangan ikan ini dimulai pada periode Viking atau sebelumnya, yang telah berlangsung lebih dari 1000 tahun, namun masih merupakan jenis perdagangan yang penting hingga sekarang.
Di India, Pandyas, kerajaan Tamil Dravidian tertua, dikenal dengan tempat perikanan mutiara diambil sejak satu abad sebelum masehi. Pelabuhan Tuticorin dikenal dengan perikanan mutiara laut dalam. Paravas, bangsa Tamil yang berpusat di Tuticorin, berkembang menjadi masyarakat yang makmur oleh karena perdagangan mutiara mereka, pengetahuan ilmu pelayaran dan perikanan.
Abad ke-7 dan ke-8 perdagangan telah menjadi ciri dari beberapa wilayah seperti di Selat Malaka dan Laut Jawa. Perkembangan ekonomi dan formasi negara bahkan sangat terkait dengan aktivitas ini . Hal tersebut juga tergambar dari hikayat yang berkembang yang menunjukkan hubungan dialektis antara penguasa dan pedagang.
Periode 1450-1680 menjadi periode emas ekonomi pesisir, atau Reid menyebut “age of commerce” . Puncak keemasan ekonomi nusantara merupakan hasil dari spesialisasi ekonomi yang tinggi (misalnya produk pangan untuk pasar domestik dan beberapa hasil pertanian, hutan dan hasil laut, serta emas untuk pasar global), jaringan perdagangan yang luas, merebaknya monetisasi dan urbanisasi.
Bagaimana industri perikanan periode ini? Perdagangan mutiara dan kerang-kerangan cukup penting, namun keterangan Zuhdi tentang perikanan Cilacap yang hanya menggunakan alat tangkap sederhana dan nelayan mengolah hasilnya untuk dibarter dengan wilayah pedalaman menjadi panduan kondisi lain perikanan di era ini.
Perikanan Indonesia pada 1800an-Pertengahan 1900an: Pasang – Surut Perikanan
Tarik-menarik politik pesisir dan pedalaman menandai maju-mundurnya peran ekonomi wilayah ini. Di Jawa misalnya, Houben membagi menjadi tiga periode yaitu :
1) 1600-1755 dimana terjadi perubahan orientasi politik dari pesisir ke pedalaman atau dari perdagangan ke pertanian yang ditandai naik-turunnya kekuasaan Mataram;
2) periode 1755-1830 Jawa terpecah belah dan berakhir dengan perang. Belanda memanfaatkan momen ini melalui serial kerjasama pengembangan pertanian tanaman ekspor dengan para penguasa Jawa, sehingga tahun 1757 Belanda telah menguasai daerah pedalaman.
3) 1830-1870 merupakan periode menguatnya kolonialisme. Periode ini ditandai dengan diberlakukannya tanam paksa pada tahun 1830.
Untuk mendukung ekspor pemerintah membangun pelabuhan, namun pelabuhan yang tumbuh berkarakter menghisap potensi alam dan bumiputera. Keuntungan tanam paksa tidak diterima rakyat, tetapi oleh orang Eropa, pedagang China, importir dan eksportir selain pemerintah Belanda. Tanam paksa juga diperkirakan mendorong penurunan tampilan industri perkapalan. Sejak akhir 1800an perikanan telah berorientasi pada pasar yang ditandai dengan pertumbuhan spektakuler usaha pengolahan dan pemasaran ikan. Bahkan, pada awal abad ke-20 Kota Bagan Si Api Api di mulut Sungai Rokan telah menjadi salah satu pelabuhan perikanan terpenting di dunia dengan kegiatan utama ekspor perikanan. Jawa dengan populasi 1/4 dari total penduduk Asia Tenggara pada tahun 1850 telah menjadi pasar terpenting produk perikanan khususnya ikan kering (asin) dan terasi. Merujuk pada data van der Eng, kontribusi perikanan terhadap total PDB pada tahun 1880 dan 1890 mencapai di atas 2% atau tertinggi yang pernah dicapai perikanan dari seluruh periode antara 1880-2002.
Pasang-surut perikanan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah, permasalahan ketersediaan sumberdaya, ekologi, ekonomi dan sosial. Kebijakan monopoli garam oleh pemerintah dengan meningkatkan biaya sewa dari f6.000 pada tahun 1904 menjadi f32,000 di tahun 1910 menghasilkan stagnasi dan penurunan peran industri perikanan yang ditunjukkan oleh penurunan ekspor dari 25.900 ton ikan kering di tahun 1904 menjadi 20.000 ton di tahun 1910. Tahun 1912 perikanan Bagan Si Api-Api telah mengalami kemunduran berarti. Hal yang serupa dan permasalahan pajak dan kredit juga terjadi di Jawa dan Madura. Permasalahan ekologi seperti ekstraksi bakau dan pendangkalan perairan, serta menurunnya sumberdaya ikan muncul dan mendorong perikanan bergerak lebih jauh dari pantai.
Pertumbuhan industri perikanan periode 1870an sampai 1930an oleh Butcher disebut sebagai menangkap ikan lebih banyak dengan teknologi yang sama. Periode ini diikuti oleh perubahan teknologi dan perluasan daerah penangkapan sebagai akibat modernisasi perikanan dan semakin langkanya ikan di daerah pinggir (1890an-1930an). Peran nelayan Jepang dalam hal ini patut dicatat karena mereka masuk ke Indonesia dengan profesi salah satunya sebagai nelayan. Butcher menilai nelayan-nelayan ini datang dengan dukungan subsidi pemerintahan Meiji yang sedang giat menggalakan industrialisasi. Teknologi perikanan yang lebih maju membuat nelayan Jepang mendapat keuntungan yang lebih besar dari exploitasi sumberdaya ikan.
Perikanan Indonesia pada Awal Kemerdekaan dan Akhir Orde Lama: Pertarungan Politik
Kebijakan ekonomi era ini banyak yang tidak dilaksanakan karena berbagai pergolakan politik. Strategi pemulihan terus dilaksanakan hingga tahun 1957, namun penampilan memburuk pada waktu Ekonomi Terpimpin yang akhinya menghasilkan kemunduran secara struktural ekonomi Indonesia antara tahun 1940 dan 1965. Di pertengahan 1960an ekonomi sangat merosot dengan inflasi mendekati 500%. Diantara wacana politik ekonomi perikanan dan kelautan adalah 1) perjuangan Konsepsi Archipelago sesuai deklarasi Desember 1957, 2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5/1960, dan 3) perikanan sebagai salah satu “mainstream” pembangunan nasional.
Konsepsi archipelago diperkuat dengan UU No. 4 prp. 1960 tentang Perairan Indonesia, yang diikuti Keppres 103/1963 untuk memberikan pengertian lebih luas tentang lingkungan maritim. UU tersebut tidak hanya memperkokoh konsep wawasan nusantara, bagi perikanan perangkat kebijakan ini menguntungan karena secara prinsip kapal ikan asing tidak dibenarkan beroperasi di dalam lingkungan maritim Indonesia.
Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan di atur dalam UUPA (pasal 47 ayat 2). Walaupun sejarah penyusunannya tidak diwarnai debat antara konsep “kepemilikan bersama” dan “kepemilikan tunggal” sebagaimana di Jepang yang memperkuat konsep hak atas sumberdaya ikan dalam perundangan perikanannya, konsepsi ini menurut Saad memberikan ruang bagi pengakuan “kepemilikan tunggal”. Sayangnya, peraturan pemerintah yang dimaksud dalam UUPA belum atau tidak ditetapkan sampai saat ini dan juga tidak menjadi acuan lahirnya UU No. 9/1985 tentang perikanan ataupun UU Perikanan No. 31/2004.
Sejak ekonomi terpimpin dicanangkan di tahun 1959, bersama minyak bumi dan hasil hutan, perikanan menjadi harapan pengerak ekonomi nasional seperti tertuang dalam Perencanaan Pembangunan Delapan Tahunan yang disusun Dewan Perantjang Nasional (Depernas, sekarang Bappenas) di tahun 1961. Target pendapatan dari ekstraksi sumberdaya perikanan menurut Pauker mencapai US$ 500 juta, namun karena ekspektasi yang sangat berlebihan, target tersebut akhirnya direvisi menjadi US$ 12,5 juta dalam sidang kabinet.
Data yang dilaporkan Krisnandhi dapat menjadi acuan perikanan era ini. Setelah mengimpor ikan pada era awal kemerdekaan, produksi perikanan terus meningkat dari 320 ribu ton pada tahun 1940 menjadi 324 ribu ton pada tahun 1951, dan kemudian menjadi 661 ribu ton pada tahun 1965. Pertumbuhan produksi tertinggi 7,4% per tahun dicapai pada periode 1959-1965, namun produktivitas per kapal menurun dari 4 ton di tahun 1951 menjadi 2,8 ton pada tahun 1965. Produktivitas nelayan juga turun dari 1 ton menjadi 0,7 ton dalam periode yang sama. Basis perikanan pada era ini sepenuhnya di daerah pantai dan hanya sedikit industri perikanan modern yang berkembang.
Perikanan Indonesia pada Orde Baru: Terabaikan dan Dualisme Ekonomi Perikanan
Hill dalam studinya tentang ekonomi Indonesia sejak 1966 mencatat berbagai keberhasilan orde baru seperti kemampuan memanfaatkan “durian runtuh” harga minyak yang tinggi, pertumbuhan ekonomi yang berlanjut, perbaikan pendidikan, kesehatan dan gizi, selain beberapa catatan tantangan bagi masa depan. Wie memberikan catatan lain diantara keberhasilan tersebut seperti meluasnya disparitas ekonomi antara yang kaya dan miskin, desa dan kota, bagian barat dan timur Indonesia, dan meningkatnya kroni-konglomerat. Pengelolaan sumberdaya alam yang buruk mendapat sorotan Hill khususnya pengelolaan hutan.
Bagaimana perikanan di era ini? Produksi perikanan meningkat dari 721 ribu ton pada tahun 1966 menjadi 1,923 ribu ton pada 1986. Produksi ikan meningkat menjadi 3.724 ribu ton tahun 1998. Setelah mengalami pertumbuhan negatif dalam periode peralihan (1966-1967), laju pertumbuhan produksi perikanan meningkat dari 3,5% (1968-1973) menjadi 5,3% per tahun (1974-1978). Periode berikutnya pertumbuhan produksi perikanan cenderung menurun (Tabel 2). Produktivitas perikanan dalam era ini walaupun tumbuh dengan laju yang berfluktuasi (khususnya kapal), secara nomimal meningkat dari rata-rata 4,3 ton/kapal periode 1974-1978 menjadi 8,4 ton per kapal periode 1994-1998.
Motorisasi perikanan merupakan salah satu penyebab peningkatan produksi sektor ini. Tahun 1966 motorisasi hanya meliputi 1.4% dari total armada perikanan sebanyak 239.900 unit, menjadi 5,8% pada tahun 1975, dan mencapai 16% dari total armada pada tahun 1980. Pada tahun 1998 armada perikanan bermotor telah mencapai 45,8% dari total sebanyak 412.702 unit, namun data tahun ini menunjukkan hanya 21% berupa kapal motor (“inboard motor”), dan bagian terbesar adalah perahu motor tempel dan perahu tanpa motor. Dengan demikian, basis perikanan masih dominan di wilayah pantai.
Konflik antara perikanan skala besar dan skala kecil mewarnai sejarah perikanan laut orde baru sebagai akibat dualisme struktur perikanan. Dualisme perikanan ditunjukkan oleh Bailey pada dua kasus penting yaitu 1) introduksi trawl dan purse seine dan 2) pengembangan budidaya udang. Kasus trawl menguatkan tesis Hardin tentang tragedi sumberdaya kepemilikan bersama. Ketika nelayan skala kecil dengan produktivitas rendah (1,4-6,7 ton/unit alat) semakin tersingkirkan oleh nelayan skala besar (trawl dan purse seine) dengan produktivitas masing-masing mencapai 70,4 ton/unit dan 38 ton/unit di tahun 1980, respon nelayan skala kecil adalah melawan dengan berbagai cara termasuk menggunakan bom molotov. Kondisi ini yang mendorong pemerintah melarang penggunaan trawl secara bertahap melalui Keppres 39/1980 yang diikuti Inpress 11/1982 dan SK Menteri Pertanian No. 545/Kpts/Um/8/1982 tentang penghapusan jaring trawl di seluruh perairan Indonesia terhitung mulai 1 Januari 1983.
Perikanan Indonesia pada Pasca Reformasi : Harapan menjadi “Prime Mover”
Struktur perikanan laut di era terakhir ini juga belum banyak bergeser dimana perikanan skala kecil masih dominan yang ditunjukkan oleh 75% armada perikanan adalah perahu tanpa motor dan perahu motor tempel. Produksi perikanan dalam periode 1999-2001 tumbuh 2,5% per tahun, sedangkan armada perikanan mulai tumbuh terbatas yaitu di bawah 1% per tahun. Pertumbuhan nelayan lebih tinggi dari armada perikanan dan mendekati pertumbuhan produksi (2,1%).
Jika periode ini dibandingkan periode sebelumnya (1994-1998), produksi perikanan tumbuh lebih rendah (2,5%), demikian juga produktivitas kapal baik secara nomimal maupun laju pertumbuhan. Rata-rata produktivitas perikanan periode 1994-1998 mencapai 8,4 ton/kapal dan 1.7 ton/nelayan turun menjadi 8,3 ton/kapal dan 1,5 ton/nelayan periode tahun 1999-2001. Laju pertumbuhan produktivitas kapal mencapai 3,0% periode 1994-1998, turun menjadi 1,6% periode 1999-2001.
Berdasarkan Nota Keuangan dan APBN tahun 2000-2005, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) perikanan meningkat sangat pesat dari Rp 52 miliar pada tahun 2000 menjadi Rp 450 miliar pada tahun 2003. Dibanding tahun sebelumnya, PNBP 2004 turun menjadi Rp 282,8 miliar (di bawah target Rp 450 miliar) dan diperkirakan target PNBP sebesar Rp 700 miliar pada tahun 2005 juga tidak tercapai karena belum optimalnya perjanjian bilateral dengan Cina, Filipina dan, Thailand. Kondisi ini menjadi satu tantangan bagi sektor perikanan dan kelautan untuk menjadi salah satu “the prime mover” atau “mainstream” ekonomi nasional.
- Syarat-Syarat Penunjang Berkembangnya Perikanan
- Faktor Manusia : jumlah manusia harus proporsianal dengan luas wilayah, minimal dalam 1km2 tidak lebih dari 1000 jiwa. Karena masa periode perikanan ini sebagian besar masyarakat menggantungkan hidupnya pada hasil laut. SDM di era perikanan ini masyarakat berkembang mengarah ke arah pesisir, karena di kawasan pesisir sudah terdapat para saudagar yang singgah dan berdagang peralatan atau benda hasil budaya dari tempat tinggal mereka. Serta masyarakat sekitar pesisir juga berdagang hasil tangkapan laut mereka. Dari factor manusia juga menentukan keberlanjutan perikanan, misalnya menjaga kelestarian ekosistem biota laut. Factor manusia ini sebagai pengembang system perdagangan dan pelayaran, serta sebagai penjaga stabilitas sektor perikanan, seperti ikan, karang, ban biota air lainnya. Masyarakat di era perikanan ini sudah mengenal tata letak bintang sebagai penunjuk arah kemanapunia berlayar.
- Luas wilayah : luas wilayah daerah yang dijadikan tempat mata pencaharian belum terdapat patokan yang pasti, karena masyarakat daerah pesisir saat mengerjakan mata pencahariannya berada ditempat yang luas yaitu danau atau laut. Semakin banyak manusia di daerah pesisir, efeknya semakin jelek. Karena, selain penduduknya banyak akan mengakibatkan perebutan hasil tangkapan, serta cata penangkapan ikan yang kurang sehat.
- Alat dan tehknologi : sudah mengenal alat – alat berburu dan memodifikasi agar dapat digunakan sebbagaialat berburu di laut, seperti tombak, jala, dan alat transportasi seperti raki, sampan, perahu dan lain sebagainya.
- Kondisi Sosial Masyarakat
Pola Interaksi Masyarakat Pesisir Pada Sektor Perikanan
Masyarakat pesisir merupakan masyarakat yang mata pencahariannya kebanyakan sebagai nelayan. Dan kehidupan masyarakatnya dekat dengan laut dan pantai.Menurut Nur Cholis Madjid dengan pendek kata masyarakat pesisir yang mata pencahariannya sebagai nelayan adalah hidup dekat dengan air. Air itulah yang digunakan sumber penghasilan atau kehidupan kesehariannya.Pada kenyataannya, ada kalanya seorang menjadikan aktifitas menangkap ikan sebagai mata pencaharian pokok, dan adapula yang hanya dijadikan sebagai kegiatan tambahan yang menginginkannya bias meningkatkan pendidikan untuk menopang hidup dan terpenuhinya sesuatu yang di butuhkan. Pada umumnya masyarakat pesisir yang mencari ikan di laut, baik laki-laki maupun perempuan pada waktu yang tidak tetap, tidak bisa hanya pada pagi, siang, sore dan malam hari, peluang itu akan mereka dapatkan sesuai dengan situasi dan kondisi cuaca dan keadaan ikan, dan dalam mencari ikan di lakukan secara gotong royong. Hubungan sosial masyarakat pesisir antara sesama warga bersifat akrab dan melekat serta tolong menolong, mereka menganggap di antara mereka seperti hubungan saudara sendiri. Istilah di atas adalah suatu karakteristik yang melekat pada masyarakat pesisir untuk bersaudara sesama warga masyarakat pesisir, karena itu merupakan kondisi dinamis sebuah masyarakat, dimana anggota-anggotanya bergerak atas dasar ikatan emosional untuk melakukan sesuatu demi tercapainya kepentingan bersama.
Dalam kehidupan bermasyarakat, masyarakat pesisir memiliki atau mengenal aturan-aturan, aka tetapi ketaatan terhadap peraturan tergantung pada nilai untung rugi secara pribadi. Hal ini karena mobilitas sosial dikedepankan oleh komoditas masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan juga mengenal adanya hubungan bilateral, suatu sistem sistem yang menghitung hubungan melalui garis hubungan keluarga,baik laki- laki maupun perempuan. Biasanya masyarakat pesisir yang yang berprofesi sebagai nelayan yang berkelompok-kelompok, dari situlah mereka hidup dengan ikatan tertentu dalam ekonominya di dasarkan pada kegiatan penangkapan ikan. Dalam sistem upah (ekonomi) yang mereka pakai adalah biasanya sistem berhasil, yaitu yang bergabung dalam sebuah perahu untuk mendapatkan upah dengan jumlah uang sebagaimana suatu gajian, melainkan mereka mendapatkan bagian dari hasil menangkap ikan, pembagian ini tergantung bagaimana perjanjian pemilik perahu dengan penangkap ikan.
Konflik Masyarakat Pada Sektor Perikanan
Kehidupan sehari-hari masyarakat pesisir sering timbul konflik-konflik yang digolongkan menjadi empat jenis konflik. Pertama, konflik kelas, yaitu antarkelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan, seperti konflik nelayan skala besar di sekitar perairan pesisir yang sebenarnya diperuntukan bagi nelayan tradisional. Kedua, konflik orientasi yang terjadi antar nelayan yang memiliki perbedaan orientasi (jangka pendek dan panjang) dalam pemanfaatan sumber daya, seperti konflik horizontal antara nelayan yang menggunakan bom dengan nelayan lain yang alat tangkapnya ramah lingkungan. Ketiga, konflik agraria akibat perebutan fishing ground. Konflik ini dapat terjadi pada nelayan antarkelas maupun nelayan dalam kelas sosial yang sama.
Bahkan dapat juga terjadi antara nelayan dengan pihak bukan nelayan, seperti konflik dengan para penambang pasir dan industri pariwisata. Keempat, konflik primordial, yang menyudutkan sistem pemerintahan otonomi dan desentralisasi kelautan. Konflik identitas tersebut tidak bersifat murni, melainkan tercampur dengan konflik kelas maupun konflik orientasi yang sebenarnya kerap terjadi sebelum diterapkannya otonomi daerah.
Maka dalam hal ini, diharuskan melakukan restrukturisasi sosial dengan melibatkan pen-samarata-an strata sosial dikalangan masyarakat tersebut. Hal yang paling diprioritaskan adalah pembentukan pemerintahan yang bersih, adil, demokratis serta produktif menghasilkan kebijakan-kebijakan yang strategis dan efektif. Masyarakat dari segala level, pemerintah, serta industri yang hadir disana harus duduk bersama membuat sebuah peraturan-peraturan yang dapat mengayomi kepentingan utama mereka tanpa harus mengorbankan salah satu elemen masyarakat tersebut. Diharapkan dengan terakomodasinya semua kepentingan tersebut, masalah seperti kesenjangan sosial atau gap sosial antar elemen masyarakat tidak terjadi lagi.
D. Kondisi Budaya Masyarakat Pesisir Pada Sektor Perikanan
Kebudayaan Secara Umum
Daerah Pesisir adalah suatu daerah di sepanjang daerah pantai utara pulau Jawa. Daerah sepanjang pantai utara (pesisiran) pulau Jawa ini dibagi ke dalam dua kategori yaitu Pesisiran Barat dan Pesisiran Timur. Yang pertama, meliputi daerah-daerah: Demak, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Wirodesa, Tegal, dan Brebes. Yang kedua meliputi daerah: Cengkal Sewu, Surabaya, Gresik, Sedayu, Tuban, Lasem, Juwana, Pati, Kudus, dan Jepara (De Graaf, 1949; Schrieke, 1959, dan Ricklefs, 1974. Dikutip dari Hardjowirogo, 1983: 105).
DAERAH PANTAI UTARA JAWA (PESISIRAN) | BARAT | Demak, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Wirodesa, Tegal, dan Brebes. |
TIMUR | Cengkal Sewu, Surabaya, Gresik, Sedayu, Tuban, Lasem, Juwana, Pati, Kudus, dan Jepara. |
Masyarakat Pesisiran menunjukkan beberapa ciri. Sikapnya cenderung lugas, spontan, tutur kata yang digunakan cenderung menggunakan bahasa ngoko. Keseniannya relatif kasar dalam arti tidak rumit, corak keagamaannya cenderung Islam puritan, dan mobilitasnya cukup tinggi. Di samping itu cara hidup orang Jawa Pesisir cenderung boros dan menyukai kemewahan, dan suka pamer. Dalam menghadapi atau menyelesaikan masalah cenderung tidak suka berbelit-belit. Corak berkehidupan sosialnya cenderung egaliter. Mereka lebih menghormati tokoh-tokoh informal seperti kayi daripada pejabat pemerintah.
Mengapa masyarakat Pesisiran memiliki kecenderungan seperti itu? Ini menjadi tugas kita bersama untuk mendiskusikannya. Penulis bisa mengatakan bahwa sikap lugas dan tidak menyukai cara-cara yang berbelit-belitmisalnya, hal ini karena dipengaruhi oleh lingkungan hunian mereka di kawasan dataran/pantai yang transparan (berbeda dengan lingkungan pegunungan), dan dipengaruhi oleh corak keislaman yang lebih menekankan pada “keterus-terangan”. Demikian juga sikap egaliternya, yakni menyukai hubungan antarmanusia dalam kesejajaran (bukan: atas – bawah). Ada ungkapan “La fadzla li ‘arabiyyin ala ‘ajamiyyin illa bit taqwa”. (Tidak ada kelebihan antara suku Arab dengan suku di luarnya, kecuali oleh ukuran ketaqwaan).
Kalau masyarakat pesisir cenderung boros, ada kaitannya dengan cara mereka memperoleh penghasilan yang sering tidak tetap. Orang yang pergi melaut misalnya, dalam musim ikan mereka dengan mudah akan memperoleh penghasilan berlebih. Pada saat seperti itu, para nelayan, para pemilik empang-empang, dengan mudah bisa membelanjakan pendapatannya dalam jumlah yang cukup besar. Keberanian untuk itu, ada kaitannya pula dengan perasaan ingin pamer. Perasaan ingin pamer itu seringkali tidak dikontrol lagi oleh pendapatan riilnya, tetapi yang penting adalah bisa membeli barang-barang mewah tadi. Oleh karena itu, orang-orang pesisir mudah untuk melakukan transaksi dengan model hutang-piutang (lihat misalnya suasana yang terbentuk pada hari-hari menjelang Hari Raya Idul Fitri).
Berbagai sikap dan cara hidup seperti itu, tentu saja ada sisi negatif dan positifnya. Tugas kita selajutnya adalah bagaimana mengurangi sisi-sisi negatif dan mengembangkan sisi-sisi positifnya.
Konsep Budaya Maritim
Berpijak pada sejarah bangsa Indonesia yang pernah memiliki dua kerajaan besar yaitu Sriwijaya dan Majapahit mengabarkan kepada kita bahwa mereka maju sebagai Negara Maritim bukan sebagai Negara Agraris. Dilihat dari geografis, Indonesia memiliki lautan 2/3 dari keseluruhan luas wilayah Indonesia. Kemudian dilihat dari tahap fungsional yang dikemukan oleh van Peursen, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kebudayaan maritimlah yang tepat dalam pengembangan kebudayaan Indonesia.
Selama ini konsep kebudayaan Indonesia disetting dengan format kebudayaan agraris yang cendrung terpaku pada alam dan kekuatan adikodrati, sangat feodalistik, dan membagi masyrakat pada strata-strata kekuasaan-kekayaaan. Padahal budaya ini telah berhasil dimanfaatkan oleh penjajahan yang pernah mengcengkramkan kakinya di negeri ini. Kita dijadikan sebagai bangsa budak, bangsa kuli, bangsa buruh yang dapat pembaca pahami dari makalah pertama.
Keterbukaan adalah suatu sikap mau membuka diri terhadap perubahan zaman dan nilai-nilai lain yang masuk atau ia dapatkan. Seperti yang kita ketahui daerah maritim disinggahi oleh berbagai ragam etnis dan bangsa yang membawa nilai-nilai/budaya yang berbeda dengannya. Sering juga orang maritim mengarungi lautan untuk berlayar ke negeri lain, dan di sana mereka berinteraksi dan berkomunikasi dengan bangsa setempat. Banyak hal baru yang mereka jumpai. Keterbukaan masyarakat maritim adalah ketika ia mau menghargai kebudayaan bangsa lain dan acap kali melakukan adaptasi inovatif terhadap budaya lain untuk memperkuat budayanya. Dalam konteks zaman sekarang, dimana dunia dikatakan sebagai global village, pertemuan budaya antar bangsa sangat mudah dan cepat maka sikap ini sangat diperlukan dalam pergaulan sesama bangsa yang mendiami dunia.
Bersangkutan dengan hal ini, sikap kemandirian merupakan pagar pelindung bagi bangsa maritim. Perdagangan merupakan pencarian utama masyarakat maritim. Kebudayaan maritim modern yang hendak kita capai adalah mencoba untuk melepaskan kunkungan konsumerisme, menjadi bangsa yang hanya sebagai pemakai dari barang-barang buatan orang lain. Hal ini diupayakan dengan kolaborasi penguasaan pasar bersama pembuatan hasil produksi di dalam negeri. Sifat agraris masyarakat Indonesia yang mayoritas petani dapat diberdayakan dalam konteks ini. Pertanian dan industri dikembangkan secara modern, tidak hanya menghasilkan barang mentah tapi produksi sampai barang jadi. Sehingga produk ini didistribusikan oleh pedagang ke seantero dunia melalui kemampuannya bernegosiasi dan merambah pelosok negri lain/kemampuan transportasi.
Keberanian menjadi ciri khas dari masyarakat maritim. Ketika berlayar banyak hambatan alam yang ditemui. Gelombang badai, keterasingan di tengah laut, perompak/bajak laut, dan ancaman binatang laut menjadi hal yang biasa. Padahal tantangan ini begitu berat dibandingkan dengan mengelola pertanian. Sehingga masyarakat maritim secara psikologis adalah bangsa yang berani. Mereka tidak mau takluk dengan alam, tapi berusaha bersahabat dengan alam. Fenomena alam mereka pelajari dan dijadikan sebagai penunjuk dalam berlayar. Terkait dengan hubungan dengan kekuatan adi kodrati, mereka sepenuhnya mempercayai. Karena dalam fungsionalnya keberadaan Tuhan mereka rasakan dalam pergembaraan mereka di laut. Sehingga religuslitas tidak hilang dalam diri mereka.
Berangkat dari analisis itu maka penulis yakin konsep kebudayaan maritim bisa menjadi suatu solusi bagi strategi kebudayaan Indonesia dalam menghadapi zaman yang telah memasuki fase fungsionalistik dewasa ini.
Budaya Larungan/Sedekah Laut
Upacara sedekah laut adalah salah satu perwujudan ungkapan rasa syukur yang dilakukan oleh Kelompok Nelayan Sidakaya, Donan , Sentolokawat, Tegalkatilayu, Lengkong, Pandanarang, PPSC dan Kemiren. Tradisi sedekah laut bermula dari perintah Bupati Cilacap ke III Tumenggung Tjakrawerdaya III yang memerintahkan kepada sesepuh nelayan Pandanarang bernama Ki Arsa Menawi untuk melarung sesaji kelaut selatan beserta nelayan lainnya pada hari Jumat Kliwon bulan Syura tahun 1875 dan sejak tahun 1983 diangkat sebagai atraksi wisata.
Upacara sedekah laut sebelum hari pelaksanaan didahului dengan prosesi nyekar atau ziarah ke Pantai Karang Bandung (Pulau Majethi ) sebelah timur tenggara Pulau Nusakambangan yang dilakukan oleh ketua adat Nelayan Cilacap dan diikuti berbagai kelompok nelayan serta masyarakat untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar tangkapan ikan pada musim panen ikan melimpah dan para nelayan diberi keselamatan.
Upacara ini didahului dengan acara prosesi membawa sesaji (Jolen) untuk dilarung ke tengah laut lepas dari Pantai Teluk Penyu Cilacap dari dalam Pendopo Kabupaten Cilacap menuju arah Pantai Teluk Penyu dengan diiringi arak-arakan Jolen Tunggul dan diikuti Jolen-Jolen pengiring lainnya oleh peserta prosesi yang berpakaian adat tradisional Nelayan Kabupaten Cilacap tempo dulu. Setibanya di Pantai Teluk Penyu sesaji kemudian di pindahkan ke kapal Nelayan yang telah dihias dengan hiasan warna-warni untuk di buang ketengah lautan di kawasan pulau kecil yang di sebut Pulau Majethi.
Pada malam harinya acara dilanjutkan dengan pertunjukan kesenian tradisional di tiap-tiap desa/ kelurahan oleh kelompok Nelayan yang bersangkutan.
- Tantangan dan Masalah Social yang Dihadapi
Persoalan Pembangunan Perikanan
PImplikasi langsung terhadap peningkatan pertumbuhan penduduk adalah makin meningkatnya tuntutan kebutuhan hidup, sementara potensi sumber daya alam di darat yang kita miliki sangatlah terbatas. Hal tersebut mendorong kita untuk mengalihkan alternatif potensi sumber daya alam lain yang kita miliki yaitu potensi kelautan. Ada lima potensi kelautan yang dapat kita andalkan, yaitu: potensi perikanan, potensi wilayah pesisir, potensi sumber daya mineral, minyak dan gas bumi bawah laut, potensi pariwisata, dan potensi transportasi laut.
Kebijakan pembangunan kelautan, selama ini, cendrung lebih mengarah kepada kebijakan “produktivitas” dengan memaksimalkan hasil eksploitasi sumber daya laut tanpa ada kebijakan memadai yang mengendalikannya. Akibat dari kebijakan tersebut telah mengakibatkan beberapa kecendrungan yang tidak menguntungkan dalam aspek kehidupan, seperti:
a) Aspek Ekologi, overfishing penggunaan sarana dan prasarana penangkapan ikan telah cendrung merusak ekologi laut dan pantai (trawl, bom, potas, pukat harimau, dll) akibatnya menyempitnya wilayah dan sumber daya tangkapan, sehingga sering menimbulkan konflik secara terbuka baik bersifat vertikal dan horisontal (antara sesama nelayan, nelayan dengan masyarakat sekitar dan antara nelayan dengan pemerintah).
b) Aspek Sosial Ekonomi, akibat kesenjangan penggunaan teknologi antara pengusaha besar dan nelayan tradisional telah menimbulkan kesenjangan dan kemiskinan bagi nelayan tradisional. Akibat dari kesenjangan tersebut menyebabkan sebagian besar nelayan tradisional mengubah profesinya menjadi buruh nelayan pada pengusaha perikanan besar.
c) Aspek Sosio Kultural, dengan adanya kesenjangan dan kemiskinan tersebut menyebabkan ketergantungan antara masyarakat nelayan kecil/ tradisional terhadap pemodal besar/modern, antara nelayan dan pedagang, antara pherphery terdapat center, antara masyarakat dengan pemerintah. Hal ini menimbulkan penguatan terhadap adanya komunitas juragan dan buruh nelayan
Arah modernisasi di sektor perikanan yang dilakukan selama ini, hanya memberi keuntungan kepada sekelompok kecil yang punya kemampuan ekonomi dan politis, sehingga diperlukan alternatif paradigma dan strategis pembangunan yang holistik dan terintegrasi serta dapat menjaga keseimbangan antara kegiatan produksi, pengelolahan dan distribusi.
(ndak tau sumbernya)
F. Prospek Perikanan Indonesia
Pembangunan kelautan dan perikanan dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tiga pilar pembangunan, yaitu pro-poor (pengentasan kemiskinan), pro-job (penyerapan tenaga kerja), dan pro-growth (pertumbuhan). Hasilnya, selama tahun 2008 Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah berhasil meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir sebesar Rp.1,050 juta per orang per bulan, meningkatkan penyediaan kesempatan kerja komulatif sebesar 9,10 juta orang pada tahun 2008 dari sebelumnya sebesar 6,50 juta orang atau mengalami peningkatan sebesar 36%, dan meningkatkan kontribusi PDB perikanan terhadap PDB nasional non Migas (tidak termasuk pengolahan) sebesar 2,44% pada tahun 2007 dan pada kuartal III tahun 2008 telah menyumbang sebesar 2,48%.
Beberapa indikator hasil pembangunan kelautan dan perikanan yang dapat dicatat, antara lain: (1) PDB sub sektor perikanan sampai pada triwulan ke-3 tahun 2008 telah berkontribusi sebesar Rp 92,22 triliun sampai dengan kuartal III tahun 2008 dari sebelumnya sebesar Rp 67,285 triliun pada tahun 2007; (2) Produksi perikanan mengalami kenaikan, yaitu dari produksi sebesar 8,24 juta ton pada tahun 2007 meningkat menjadi 8,71 juta ton pada tahun 2008; (3) Volume ekspor mengalami kenaikan sebesar 4,89%, yaitu dari 854.328 ton pada tahun 2007 menjadi 896.140 ton pada tahun 2008 dan nilai ekspor juga mengalami peningkatan, yaitu dari US$ 2,258 milyar pada tahun 2007 meningkat menjadi US$ 2,565 milyar pada tahun 2008 atau meningkat sebesar 13,59%; dan (4) Jumlah nelayan dan pembudidaya ikan pada tahun 2008 mencapai 8,4 juta orang meningkat dibandingkatan tahun 2007 sebesar 5,87 juta orang. Peningkatan pembudidaya ikan mengalami peningkatan secara signifikan, yaitu 3,16 juta orang pada tahun 2007 meningkat menjadi 5,53 juta orang pada tahun 2008 atau meningkat sebesar 44,75%.
Lebih lanjut dapat disampaikan bahwa pada tahun 2008 juga tercatat beberapa pencapaian indikator hasil pembangunan lainnya, seperti penyediaan ikan untuk konsumsi mengalami peningkatan, yaitu sebesar 28,28 kg/kapita/tahun pada tahun 2007 meningkat menjadi 29,98 kg/kapita/tahun pada tahun 2008; dan DKP berupaya mengatasi kemiskinan masyarakat pesisir dengan anggaran yang berasal dari dana kompensasi BBM dan APBN serta dukungan penuh dari Departemen Kelautan dan Perikanan yang hingga kini program PEMP telah dilaksanakan di 293 kabupaten/kota pada 9.515 desa pesisir dan telah menghasilkan Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir-Mikro Mitra Mina (LEPP-M3) sebanyak 324 buah dan telah mengalokasikan dana ekonomi produktif sebesar Rp 518,59 miliar.
Pelaksanaan program tahun 2009 diharapkan berjalan secara sinergi dengan pemerintah daerah sehingga dukungan daerah akan lebih menguat. Fokus program diarahkan untuk pencapaian 3 indikator sasaran utama. Pertama, pro poor. Meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya ikan dan masyarakat pesisir menjadi sebesar Rp. 1,50 juta per orang per bulan, dan meningkatnya jangkauan program pemberdayaan masyarakat sebesar 16% (850.000 orang) dari populasi masyarakat pesisir yang miskin, termasuk pemberdayaan perempuan sebanyak 350.000 orang. Kedua, pro job. Meningkatnya penyerapan tenaga kerja kelautan dan perikanan dari perkiraan 9,10 juta orang pada tahun 2008 menjadi 10,02 juta orang pada tahun 2009. Ketiga, pro-growth. Meningkatnya kontribusi PDB perikanan terhadap PDB nasional non migas (tidak termasuk pengolahan) dari perkiraan 4,40% tahun 2008 menjadi 5,00% pada tahun 2009;
Adapun sasaran output yang hendak dicapai pada tahun 2009 yaitu: (1) Meningkatnya produksi perikanan menjadi 12,73 juta ton dengan produksi hasil olahan 4,0 juta ton; (2) Meningkatnya ekspor hasil perikanan menjadi US$ 2,8 miliar; (3) Meningkatnya penyediaan ikan untuk konsumsi menjadi 30,17 kg/kapita/tahun; (4) Meningkatnya jumlah kab/kota yang menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan wilayah pesisir terpadu sebesar 40%, untuk mewujudkan lingkungan pesisir dan laut yang bersih sehat, produktif sehingga dapat menjamin produktivitas sumberdaya perikanan serta keanekaragaman hayati laut; (5) Meningkatnya jangkauan wilayah operasi kapal pengawas dan kemampuan SDM pengawasan dan pengendalian sumber daya kelautan dan perikanan dalam rangka illegal fishing sebesar 15%; (6) Meningkatnya kualitas SDM kelautan dan perikanan sebanyak 4.500 orang dan meningkatnya fungsi penyuluh untuk 8.000 orang; (7) Meningkatnya utilitas Unit Pengolah Ikan (UPI) menjadi 70%; (8) Tersedianya data statistik dan informasi kelautan dan perikanan yang akurat dan tepat waktu; dan (9) Meningkatnya sumber daya riset kelautan dan perikanan serta pemanfaatan IPTEK berbasis masyarakat.
Kini, eksploitasi perikanan terus meningkat dengan pesat bahkan meliputi tiga dimensi dari daerah penangkapan ikan, sementara upaya konservasi dan rehabilitasi masih terbatas. Setelah Komisi Nasional Pengkajian Stok Ikan tahun 1998 melaporkan sebagian besar sumberdaya ikan diekploitasi secara intensif, hasil pengkajian stok tahun 2001 diketahui 65% sumberdaya diekploitasi pada tingkat penuh atau berlebihan, terutama di wilayah bagian barat Indonesia. Karena itu, peluang industri perikanan akan bertumpu pada kawasan timur Indonesia dan ZEEI.
Transformasi struktur perikanan masih tetap menjadi tantangan, sebagaimana juga upaya pengembangan alternatif pendapatan untuk menurunkan tekanan exploitasi sumberdaya. Menuju samudra tidak hanya dibatasi oleh kondisi ini, juga akan oleh berbagai perangkat pengelolaan perikanan dunia misal oleh “Indian Ocean Tuna Commission” (IOTC) dan “International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas” (ICCAT). Sementara, keterbatasan armada perikanan nasional juga menjadi penyebab intensifnya penangkapan ikan ilegal. SEAPA melaporkan setiap tahun 3.000 kapal ikan illegal dari Thailand menangkap perikanan ikan di Selat Malaka, Laut Cina Selatan, dan Laut Arafura.
Pengelolaan sumberdaya semakin dibutuhkan saat ini dan perlu mendapat porsi perhatian yang besar. Jika Hill telah menunjukkan buruknya pengelolaan hutan, perikanan sebagai suatu sumberdaya yang penuh ketidak-pastian (“uncertainties”) baik karena sifat biologi maupun karakter pemanfaatannya yang masih dianggap bersifat “open-access” dan “common properties” tentu akan lebih menantang. Catatan singkat berikut merupakan beberapa tawaran pengelolaan perikanan:
1) Mempertimbangkan kembali hak atas sumberdaya. Hak sepeti ini mempunyai akar sejarah dalam tradisi masyarakat pesisir Indonesia, walaupun sebagian besar tidak berdaya atau hilang karena berbagai perangkat kebijakan nasional. Pemerintah Belanda telah menguatkan tradisi ini dalam ketentuan “Territoriale Zee en Maritene Kringen Ordonantie” (TZMKO) tahun 1939 untuk melindungi nelayan dan konservasi sumberdaya ikan. Pemerintahan Soekarno juga menguatkan dengan UUPA walaupun perangkat di bawahnya tidak ada. Otonomi daerah tentu menjadi harapan bagi upaya ini.
2) Memperkuat sistem MCS (“monitoring, controlling, and surveillance”). Upaya ini terbukti dalam beberapa kasus berhasil mengurangi tekanan eksploitasi oleh perikanan ilegal dan juga menjadi alasan penting peningkatan PNBP perikanan selama periode tahun 2001-2003. MCS juga dapat menjadi salah satu perangkat penting perencanaan pengelolaan perikanan.
3) Perikanan tuna masih akan menjadi daya tarik di ZEEI atau laut lepas dan pengelolaan oleh internasional atas sumberdaya ini semakin menguat kini. Kemampuan diplomasi dengan dukungan pengetahuan biologi sumberdaya dan status pemanfaatannya sangat dibutuhkan. Indonesia tentu memiliki daya tawar yang sangat tinggi untuk perikanan ini terutama dengan diketahuinya daerah pengasuhan sebagian jenis sumberdaya tuna di selatan Jawa-Bali.
4) Insentif untuk konservasi dan rehabilitasi sumberdaya perikanan melalui program pengkayaan stok dan rehabilitasi habitat. Produksi masal benih ikan menjadi kunci program pengkayaan stok dan juga upaya pengembangan industri budidaya. Upaya ini sangat potensial berkembang dengan keberhasilan produksi benih beberapa jenis yang terancam misalnya kerapu. Sebelumnya, Indonesia pernah berhasil dengan program “backyard hatchery” untuk udang, namun seiiring dengan surutnya budidaya udang windu, usaha ini juga surut, sebaliknya kini budidaya justru berbalik ke spesies introduksi misal Vannamei. Sementara program pengkayaan stok masih sangat terbatas, rehabilitasi habitat ikan mendapat perhatian misal melalui program Coremap yang didanai donor internasional.
5) Integrasi perikanan kedalam pembangunan desa. Kelangkaan sumberdaya ikan semakin menyulitkan nelayan untuk memperbaiki kualitas hidupnya, dan kerapuhan lingkungan hidup seperti sedang berjalan seirama dengan kemiskinan. Sementara, orientasi pembangunan perikanan masih bersifat mengejar target. Berkembangannya usaha berbasis kelompok seperti budidaya ikan/udang, pertanian lahan pasir, peternakan, dan pariwata termasuk usaha berbasis wanita di beberapa wilayah menjadi modal sosial untuk mengintegrasikan perikanan kedalam pembangunan desa secara menyeluruh.
Tentu, tersedia banyak teknik dan konsep pengelolaan perikanan, dan diskusi serta upaya pemberdayaannya perlu terus dikembangkan. “Sense of urgency” dan “political will” khususnya dari pemerintah untuk membangun secara berkelanjutan industri ini menjadi salah satu kuncinya.
DAFTAR PUSTAKA
Siaran Pers DKP No.6/01/2009
http://staff.undip.ac.id/sastra/mudjahirin/2010/07/30/masyarakat-pesisir/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar